AdSense Page Ads

Monday, January 31, 2011

(Semoga bukan) Goodbye Raja Ampat

Before I dive at Great Barrier Reef I gotta dive at Raja Ampat first
Well, kalau pemerintah jadi menjual, maaf, menyewakan Raja Ampat ke Four Season dan/atau Hilton, kayanya lebih mungkin saya ke Great Barrier Reef duluan, bakalan considerably cheaper kayanya :(.

Waktu saya baca tentang rencana pemerintah ini saya langsung shock. Rasanya lenyap sudah impian saya untuk mengunjungi daerah yang indah ini. Betapa tidak, saat ini saja saya masih susah payah menabung karena harga tiket yang cukup mahal, apalagi bila itu dijadikan kawasan resort tertutup yang harganya lebih tak terjangkau lagi. Saya cinta Indonesia, tapi kalau harus mengeluarkan beberapa ribu USD hanya untuk mengunjungi daerah Indonesia (yang juga dikelola asing) kayanya nggak deh.

Saya benar-benar bertanya dalam hati, apa yang kau cari wahai Pemerintah Indonesia? Sebegitu defisitnya kah kita sampai harus menyewakan daerah strategis? Buktinya gaji anggota pemerintah plus tunjangan kanan kiri sedemikian besarnya kok. Ga punya dana untuk bangun infrastruktur di daerah Papua? Bangun aja gedung DPR/MPR yang baru disana. Dengan uang sekian triliun plus fasilitas ala resor justru bisa dapat tambahan baru kan, itu juga baru adil namanya, ga cuma di Jakarta aja nongkrongnya.

Salah satu alasan yg pasti akan dikemukakan adalah: "Investor asing diperlukan karena pemerintah tak mampu berinvestasi. Dengan adanya pariwisata maka SDM sekitar juga akan terserap dan daerah akan bisa berkembang". Sekarang saya ingin bertanya, apa yang didapat dari penambangan Freeport dan Newmont? Apa yang didapat dari ratusan, ribuan villa dan hotel di Bali? Almost nothing. Pucuk pimpinan tetaplah orang asing, bukan orang kita. Mereka lebih senang mengambil pegawai siap pakai dari daerah lain daripada SDM lokal yang masih harus ditraining. Kita diusir dari daerah kita sendiri.

Contoh pasti di Bali, walau secara resmi pantai Nusa Dua adalah milik publik, kita hampir pasti diusir satpam hotel daerah situ kalau keluyuran kesana. Contoh lain, bangunan-bangunan yang dibangun tanpa mengindahkan aturan adat yang berlaku, bahkan melanggar batas kesucian daerah (bayangkan ada villa yang dibangun persis disamping Masjid Demak atau Katedral, penuh dengan orang2 berbikini dan musik keras. Ga menyenangkan kan?). Atau hilangnya rasa solidaritas antar masyarakat karena menganggap turis asing lebih berarti, lebih berduit (saya seriiiiiing sekali mendapat diskriminasi seperti ini). Jangan sampai hal ini terjadi di daerah lain yang masih "bersih" (baca:polos).

Saya ga benci Pariwisata. Bidang pekerjaan saya pun tergantung sepenuhnya dari klien asing. Yang saya benci adalah pariwisata yang tidak terkontrol, yang hanya mementingkan nilai materi yang didapat dan melupakan hak-hak kita selaku pemilik negeri ini. Indonesia negara besar, lokasi kita yang strategis, penduduk kita yang banyak, dan kekayaan alam kita yang tampak tak terbatas membuat kita (sebenarnya) sangat diperhitungkan dunia. Kita memiliki hak tawar yang amat sangat besar. Jangan sampai hanya orang (asing) yang berduit yang sanggup menikmati keindahan Indonesia, namun juga masyarakat Indonesia sendiri.

Apakah ini melulu tentang senang-senang dan jalan-jalan? Tentu tidak. Kepastian bahwa masyarakat Indonesia masih dapat menikmati daerah-daerah di negerinya sendiri, dan juga ketersediaan sarana yang terjangkau akan mempersatukan Indonesia. Bagaimana kita bisa peduli akan saudara-saudara di Mentawai kalau tiket pesawat kesana lebih mahal dari tiket ke Thailand? Bagaimana kita bisa kenal dekat dengan saudara-saudara kita di Wakatobi kalau biaya travel ke sana lebih mahal dari travel ke Singapore? Bagaimana saudara-saudara kita bisa mengerti bahwa Jakarta bukan hanya seperti di Sinetron kalau butuh berhari-hari jalan kaki untuk sampai di lapangan udara? Itu pun belum tentu tiket nya terbeli.

Indonesia bukan hanya Jakarta, Jawa, Bali, atau Sumatera. Indonesia adalah juga Celebes, Borneo, Papua, dan ribuan gugusan pulau lainnya. Saat Sumpah Pemuda pendahulu kita berikrar: "Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia". So yeah, anda dan saya adalah orang Indonesia. Anda memiliki hak untuk dapat melihat Bali, tanah "seribu pura" dan bukannya tanah "seribu villa". Saya memiliki hak untuk dapat melihat Raja Ampat atau daerah lainnya secara langsung, bukan hanya dalam khayalan karena tak terjangkau. Sudah saatnya pemerintah mengerti akan hak kita. We are Indonesian. Indonesia is ours.


Special thanks untuk @palingindonesia, @getlostisgood, @backpackseru, @infojogja, @letsgotobali dan berbagai media lainnya yang telah setia mempromosikan keindahan Indonesia. Mari terus berusaha agar keindahan Indonesia bisa tetap terjangkau oleh orang-orang Indonesia.

Thursday, January 27, 2011

Wafer UBM (Wafer Kampung!)

My Favorite! I can't believe when I found this in Bali! (okay, I actually first found this on my friend's work station hehehe)
This wafer is a personal favorite when I was just a little girl not so long ago. Trust me, it's not THAT long. It's sweet and nice, but I love it most for its sentimental value. I can still remember how I used to buy this from small warungs (grocery shops) when I come home from elementary school. I hardly found these wafers anymore since I enter Junior HIgh School, and I already forgot about it ever since, at least until the blessed encounter in Bali (okay Mrs. T, okay... Blessed encounter on your desk LOL).


See the writing below? It was produced in Sidoarjo, East Java, Indonesia. It's only 50 cent (with current IDR/USD currency rate) and you got 10 packs of small wafer, each packs contain 2 slice of wafer. Thank God I don't have to buy it at Sidoarjo, just need to stroll down a few houses to buy it in a warung near my office.


Open up and yum yum yum!

Old Bali at Sanur Pejeng, Ubud

Did I tell you I was having a blast on a relative's wedding reception at Sanur Pejeng? I did. and the trip there sure worth the time as well! Sanur Pejeng is located in Ubud, already near to Tampak Siring area. It is said that it is called Sanur Pejeng because they were originally come from Sanur area (yeah, that Sanur with gorgeous sunrise near Denpasar). Correct me though if I'm wrong though, I can be such a dunce with details :). One thing for sure, their love for art was amazing, just see the wedding offering below!



The road that we took was the road to Ubud area. Sukawati, celuk, passing all those beautiful rice fields and old (or should i say ancient) houses and Banjars and many Pura. On the way, the road become more and more narrower and also winding, so if you
get carsick easily you might want to bring some refreshment. However, the view was become more and more lush and greener on the way, so it really compensate the winding road. When we reach their Grya (main house) it was like transported back to the old Bali, with no tourist or hawker or even any signs of modern civilization (yes, I meant those pulsa dealer, PlayStation rental or worse, Cafe and bars).



You can see the moss over the rocks and structures, the thick green forest beyond and the soft sounds of the river below. Some would say I'm mentally ill and absorb too much in tourist-mode. It is , after all, just another deserted Balinese village. Well I lived my life in Jakarta, and travels around the world by means of books, news and literature, and yes, I didn't found any big cities interesting (except for the food). Big (and so-called modern) cities are like coming from cookie cutter or one of mass Chinese product. The "modern" style leaves one so cold and it's really doesn't feel nice to see nor touch. I'm a city girl through and through, but traces of old civilization has always been my secret love. This village is a gem.

Back to Topic, the first picture above was the entrance of their praying place (Merajan). The little statue on the right was a Bali Style Ganesha (I think. See below). I can't resist myself to swept my hands over the soft moss and the cold rock of the statue, thus the nice ladies who were in charge to help on the wedding consequently staring at me with odd look hehehe. Sorry ma'am, it won't happen again.



The trees were also awesome. The one that you saw below is actually a Champaka tree. The tree can grow extremely big, however they did a fabulous job on trimming it so it is still alive but not too big. Among others are Frangipani (of course!), Sandat/Ylang-ylang, Bougainvillea and several others which I don't know the names.



The feast was excellent. period :)
The wedding was nice as well. It is always so great to be with family, sharing stories and gossip (yup, I'm officially a girl). And soon enough, it's time to return home.

The road that we took back to Denpasar was different from the road we took to get there. Fine by me, I'm not driving and get to view the wonderful scenery to my heart's content :). Among other things, I saw a great Pura called Pura Pengukur-ukuran. I was so excited to see it and told my mum it's gotta be a really old Pura. I was right, it was made in year 1194. There are other pura as well in the area. Too bad I'm not at liberty to stop and visit them one by one :(

It was a great trip all together. I would recommend you to visit this beautiful village yourself, but unfortunately there aren't any lodging that I saw there (though I did see a couple of foreign tourist walk backpacking with their guide. Not sure where they stay.)But then again, with lodging and stuff it'd get polluted wouldn't it. If you happen to visit this area, make sure NOT to leave traces that damage the purity of it (over tipping, over whining, over anything!). Enjoy!

Wednesday, January 26, 2011

A taste of (old) Bali in Sanur Pejeng

I honestly don't know why people in the city (e.g. Denpasar) prefer the generic Capcay (Chinese style vegetable stir fry), Ayam Goreng (fried chicken), or Western-style Cream Soup for their wedding menu. What's wrong with local Balinese food?? Okay, actually I (think) I know. It is more affordable, way easier to make, and it's not easy to get ruin. Plus, you can just warm it up so menu for "lunch reception" can easily be menu for "dinner reception". Another reason is that (sadly) some people thinks it's just not fashionable. And even though the people that held the event might think it's ok to have Balinese food, the guests might think otherwise, thus the western-whatever-style menu. But is it really unfashionable?



True that Balinese food can be difficult to make and quite time consuming. The curse of living in (big) city is that you (or anybody else) don't seem to have enough time to do things beyond our scheduled life. In the old Bali days, when somebody held an event such as Pawiwahan (wedding) or Ngaben (cremation) all the men gathered to cook for the event and all the women help with the Banten (ceremonial offerings). It is a perfect measurement of how your community think of you. A rich or well known family might end up of getting little or even no help at all if they act snobbish and never help on other family's event(s). Like wise, an average or even poor family can get mountains of help if they always help other family. Of course, this tradition is becoming extinct as, like I said, nowadays everybody concern about their own business. Now we got caterings, and people who sells complete Banten, so why bother? Especially that more and more people seemed to be more appreciative on how rich you are, not how nice or helpful you are. It's an awful disease caused by commercialism and easy money (good thing some people are immune!).



That's why when I got the chance to visit the lovely area of Sanur Pejeng in Ubud for a relative's wedding I was literally enthralled. (yeah, I finally manage to get in the heart of UBUD!).It was a feast for the senses, especially for my poor tasting bud. After countless fast food servings and mass-made dishes in the polluted city, it really is something to eat real Balinese delicacy in the cool surroundings of Ubud, with thick forest trees and the sound of river nearby, sat in the antique Bale with moss that crept on the rock. Did I mention the ingredients was fabulously fresh? And no, it wasn't even an insanely lavish or difficult feat like a whole Babi guling (suckling pig) and stuff. It was really the kind of menu that a common household would prepare, and that my friends, makes it even more superb.

The menu (for 2 days set of food) was an array of Telur Pindang Kecap (egg broiled in sweet soy sauce - 1st pic above), Sayur Kacang Panjang (String bean in turmeric and and a dash of coconut milk), Shredded Duck (I don't know how they cook it, but it was awesome!), Sayur Nangka (jackfruit in pork broth), Gulai Ikan (fish in coconut soup),the Famous Sambal Matah with ground nut as a twist (see pic. of Sambal Matah without the ground nut on 2nd pic above. It was so delicious it was gone from the table before you know it), Cucumber and soy bean (I think it was like a kind of pickle thing. Whatever. It's GOOD), Satays and many other dish. But my favorite was Bali Style Babi Kecap (pork stew in spicy soy sauce - see pic below). The pork fat was literally melt in your mouth, and as they use really fresh produce (I wouldn't be surprised if the pig was butchered just the morning before the event) it tastes so sweet and succulent. The only thing stopping me from rising up and getting another portion (okay, several) is definitely not my diet (it's a rare feast, baby!) but the relatives and guests that presents that day. It sure wouldn't help my eligibility rating to eat pork like a pork-to-be LOL.



All in all, I am so thoroughly happy to attend the feast, umm, the wedding I mean (U & B, if you're reading this I'm REALLY happy for both of you. I really do!). I kinda wish that one day original Balinese feast will return to their rightful place of honour on reception table, perhaps even as a symbol of wealth. I mean, which Balinese wants Lobster and Caviar anyway, it's not even native Balinese food (not that I object, but then again I'm Batavian hehehe). I think most Balinese will be surprised to know how expensive their daily dish could fetch when it is served in fancy joints/restaurants exclusively for foreign tourists and even more when it is serve in foreign country even though it tastes so-so or lame . Trust me, a plate of Babi Guling can costs way more than a KFC complete package in Balinese Warung in Jakarta. And darlin', it aint even taste good. So, if you're in Bali and stuck with a mass-made hamburger in your hand, start looking for a genuine Balinese dish and enjoy the feast.

Note for pictures:
telur pindang kecap was taken from resepmasakansabina.wordpress.com
sambal matah was taken from http://resepmasakanindonesia.info/
bali style babi kecap was taken from http://serdadoedapoer.blogspot.com/
My mum forbade me to get picture of the food in the reception table as it was quite impolite (and I agree), and I was so absorb in tasting everything I didn't remember to take any picture of the food in my plate. At least until it's already half empty. I may be foodies through and through but I sure am a dreadful food blogger hahaha.

Thursday, January 20, 2011

Terkabul, terkabul!

God always give me what I want. That much is true :). Biarpun permintaan saya agak aneh, ga penting dan ga masuk akal seperti pake baju pengantin ala barat. Cinderella banget deh pokoknya. Tapi tetep aja dikabulkan.

Sometimes it takes time. Semakin aneh dan sulit permintaan saya semakin lama terkabul (saya sampe sekarang masih belum ketemu Johnny Depp, padahal dah ngarep dari SMA), tapi eventually kalau memang permintaan saya dianggap oke dan baik untuk saya pasti dikabulkan. Dan harus hati-hati mintanya, kadang-kadang kalau requestnya ga jelas/ga spesifik Tuhan suka ngasinya ga sesuai maunya kita (tapi tetep sesuai request). Contohnya, tahun lalu saya minta pasangan yang sesuai kriteria saya dan sayang banget sama saya. Yang datang: satu cowok yang sesuai kriteria (sampe titik komanya!) tapi ga mau ma saya, dan satu cowok yang sayang sesayang-sayangnya sama saya tapi ga masuk kriteria saya (paling ga saat itu). Contoh lain ya gaun pengantin ini. Saya sebenernya berharap sepaket sama calon suami, tapi cuma dapet gaun dan foto2nya aja hehehehe....

Makanya sekarang kalau saya berdoa saya bilang "Tuhan, kalo bisa sepaket ya.. yang lengkap sesuai doa saya... Kecuali kalau Tuhan memang menghendaki lain/pikir itu ga baik buat saya..." Mulai dari yg kecil-kecil kaya ngidam sushi sampe minta hidup yang lebih baik, this is my ultimate prayer.

Ah biarlah. It still looks good. Really good :)
Thanks Lord!

Wednesday, January 19, 2011

How to be an Angel

Sebenernya saya juga ga tau gimana caranya.

(Post ini dibuka dengan buruk ya... hehehehehe)

Saya kepikiran aja sama topik ini setelah dapat SMS soal per-angel-an dari temen saya. Dia merasa terbantu oleh best friend nya and call her an angel. Saya juga sering banget manggil orang-orang yang bantuin saya "Angel". Nah, jadi kapan seseorang dianggap "angel" dan kapan nggak?

Buat saya, seseorang yang membantu saya itu sudah pasti "Angel". Bukan berarti dia sepenuhnya suci, bersih, dan sebagainya lho. Seorang teman yang membantu memberikan job saat saya lagi ga punya duit buat saya Angel, walaupun (konon cerita) dia dianggap jelek oleh sekelilingnya. Sebaliknya, seseorang yang hapal mampus kitab suci tapi tega ngeliat perempuan ngangkat-ngangkat kursi etc untuk kegiatan kampus tanpa ngebantuin jelas bukan "Angel" buat saya. Kayanya perbedaannya jelas ya?

What's so special with helping other? Apa sih yang spesial banget tentang ngebantuin orang lain? Easy, kita selalu punya pilihan untuk ngebantuin (atau ga ngebantuin) orang lain. Ini konsekuensi logis Manusia sebagai mahluk sosial. Saya ga terlalu ketat soal agama (baca: ga terlalu waro/peduli bahkan), tapi saya sepenuhnya percaya Tuhan, dan saya percaya manusia adalah anak Tuhan, ada bagian dari Tuhan dalam diri kita. Saat kita memutuskan menolong orang lain, itu Tuhan yang menolong, atau lebih tepatnya manusia sebagai Angel/Malaikat/utusanNya :)

Jangan ngebayangin harus seperti para orang suci/santo yang berkorban, rela mati demi sesuatu. Menolong orang itu mudah kok. Mulai dari ngasi kursi di bus, bantuin ibu-ibu naikin barangnya di angkot, hal-hal kecil aja sih sebenernya. Makanya saya suka banget di Jakarta, banyak kesempatan bisa nolongin orang.

Buat saya ini bukan masalah ntar dapat pahala atau gimana, like I said, saya juga ga terlalu percaya Surga-Neraka. Klo kata orang bule: what goes around comes around, apa yang ditabur itu yang dituai. Saya asik-asik aja ngasi kursi di Bus buat ibu-ibu tua/hamil karena saya berharap saat mama saya di posisi ibu2 itu, akan ada yang ngasi kursi ke beliau. Saya asik-asik aja ngebantu ngedorong gerobak sampah pemulung yang nyangkut karena toh ga nyusahin saya. Apa yang bisa saya lakukan untuk orang lain, selama ga nyusahin saya dan orang-orang sekitar saya, biasanya sih saya lakuin. Tapi ya itu tadi, selama ga ngerugiin saya dan orang-orang sekitar saya. Bodoh namanya menolong orang tapi sengsara sendiri. Jangan egois lah, kesian kan orang2 yang sayang kita.

Emang ga selalu lancar. Kadang saya juga bertanya-tanya, apakah iya ada faedahnya saya berusaha nolong orang, bikin mereka tersenyum? Sering banget orang menganggap saya punya motif-motif tersendiri dengan ngebantu mereka, ada juga yang berterimakasih dengan basa-basi alias ga niat, lebih sering lagi orang ga menganggap saya udah ngebantu mereka. Tapi once in a while ada yang bener-bener menyatakan dengan penuh niat bahwa mereka berterimakasih atas bantuan saya. And you know what, it makes life worth living once again. Hidup saya jadi berarti lagi.

Apakah saya Angel? You decide. Saya ga terlalu peduli juga sih apakah saya angel atau bukan. Saya cuma berusaha nunjukin ga susah jadi orang baik. Ga susah jadi Angel.

Tuesday, January 18, 2011

Bhinneka Tunggal Ika yuk!



Hari ini Purnama, dan murid-murid sekolah (negeri) di Bali yang beragama Hindu memakai baju adat ke sekolah untuk mengikuti persembahyangan Purnama bersama. Lovin' it!

Saya sudah pernah cerita betapa saya suka baju adat Bali dan persembahyangan Hindu Bali, dan buat saya ngeliat berbagai warna, model dan bentuk baju adat yang dikenakan anak-anak sekolah ini benar-benar menyejukkan mata. Untuk anak lelaki, ada berbagai jenis udeng, kain, kemeja adat; untuk anak perempuan ada berbagai warna dan jenis kebaya, kain, selendang. The combination is endless!

Saya ga pernah suka seragam (pasti semua juga sudah ngeh hehehehe). Seragam buat saya terlalu mengikat, dan saya beruntung sampai saat ini saya ga pernah kerja/kuliah di tempat yang mewajibkan saya memakai "seragam" atau "baju resmi". Saat SMA pun saya bersenang-senang dengan seragam saya, tweaking here and there, nambahin aksesoris ini itu (termasuk menyablon logo Slank di baju seragam hehehehe), pokoknya showing off my personality. Makanya saya suka ngeliat variasi di Bali, tiap bulan ada 1 hari yang anak sekolahnya bebas dari seragam dan bisa memilih baju adat mana yang ingin mereka pakai.

Kalau dipikir-pikir, kenapa tiap daerah ga membuat seperti itu ya? Bukankah menyenangkan sekali dan sangat Bhinneka Tunggal Ika?

Di masa sekarang, dunia seolah terbagi menjadi "Aku", "kamu", dan "mereka"; ga ada lagi "kami" dan "kita". Seolah dunia terbagi menjadi "Islam", "Kristen", "Hindu" dan sebagainya. Ada beribu jenis/cara/pemahaman Islam, ada berbagai gereja Kristen/katolik, bahkan Hindu dan Buddha pun memiliki berbagai bentuk/sekte yang berbeda. Jadi apa yang ngebedain sih sebenarnya?

Saya yakin banyak pembaca yang ga setuju sama pandangan saya, tapi buat saya lebih masuk akal "perbedaan suku" daripada "perbedaan agama". Agama itu pilihan, urusan seseorang dengan Tuhan yang dipercayainya. Banyak orang yang dulunya Hindu pindah ke Islam, Islam ke Kristen, Kristen ke Buddha, dan seterusnya. Like I said, itu urusan mereka dengan yang "diatas". Tapi suku dan ras? Mana bisa kita memilih: "saya ingin lahir sebagai orang Bali", misalnya. Ga bisa kan? Pasti Tuhan punya rencana sendiri kenapa saya terlahir sebagai orang Bali, kenapa orang yang saya taksir terlahir sebagai orang Batak (hi Choky, yeah I love you!!), kenapa teman baik saya terlahir sebagai orang Kalimantan.

Masuk akal kan kalau kita bangga akan suku dan ras kita, karena pasti Tuhan memutuskan itu yang terbaik buat kita. Berpikirlah "Saya bangga dengan ras/suku saya.", tapi jangan membanggakan "Ras/suku saya lebih baik dari yang lain!". Itu mah kaya Nazi yang mengagungkan bangsa Arya, padahal mereka cuma menang cakep/bersih aja.

Jadi apa yang bisa dilakukan?? Gimana kalau mengusung sesuatu khas suku kita? Misalnya berbaju kemeja yang terinspirasi baju bodo, atau scarf bermotif songket? Something simple dan kreatif aja, ga harus pake headdress minang yang sedemikian besarnya ke kantor hehehhe. Sayangnya nggak ada hari "Bhinneka Tunggal Ika" sih. Mungkin saat hari Kartini tanggal 21 April? Ga usah beli baju baru atau yang heboh-heboh, seadanya aja. Baik cowok maupun cewek bisa ikutan kok, cuma perlu kreatif saja. Mau ikutan? :)


Photo courtesy of Charlottines - Flickr

Sunday, January 16, 2011

Nyalain "Kembang Api" yuk :)

Boom, boom, boom
Even brighter than the moon, moon, moon
It's always been inside of you, you, you
And now it's time to let it through




Saya suka banget sama lagunya Katy Perry ini. Baik clip maupun lyricnya nunjukin bahwa kita bisa bersinar, bisa lebih baik. You just gotta believe in yourself. Tapi sebagaimana firework, ga kan nyala kalau ga ada api :). Harus ada yang ngasi tau kita bahwa kita berharga, kita oke, kita bisa bersinar. Kalau nggak ya susah, ga kan bisa nyala kecuali pedenya emang over dosis.

Emang kadang kalau ga biasa dipuji pasti rasanya aneh/ga nyaman. Temen kerja saya merasa canggung saat saya dan rekan saya properly thank him atas bantuannya dalam proyek kami. Buat saya, saya wajib berterimakasih karena saat itu dia punya hak untuk tutup mata dan bukannya malah membantu saya. Saya memang royal dan keras dalam hal ini, baik dalam berterimakasih maupun pujian-pujian kecil yang memang pantas diberikan. Kalau mereka memang pantas mendapatkannya, kenapa tidak? Bukankah sangat menyenangkan untuk tahu kita dihargai, biar sekecil apapun. Bukankah sangat menggembirakan untuk tahu kita bisa membantu orang, biar seremeh apapun. Pujian-pujian kecil, senyuman ramah, dan kata "terima kasih" itulah yang akan jadi "fire" yang menyalakan "fireworks" kita. Kalau dipikir-pikir, kembang api memang dinyalakan dengan api kecil kan, bukan api unggun :)

Jadi jangan pelit ya ngebantu menyalakan "firework" orang-orang sekeliling kita, karena nanti "firework" kita pun akan menyala dengan indahnya...

Thursday, January 13, 2011

I'm in Love

I'm in love. Just like that.

It's not one of those "eureka!" moments, or "lightning struck" kinda thingy. It's something that I've been feeling for a while and gradually realize. I'm in love, and I think this one is for real.

My friend told me how she hate people who easily said "I'm in Love", yet can change that feeling in a wink. How it took only a little time to change those three words to "I don't think we should see each other anymore." I don't think this is one of those cases though. I do hope not.

It's not those badaboom-badabang feeling, how you got fireworks working every time you think of him. Or romeo+juliet stuff which makes you so emotional every time you see him. It's more like seeing a tree of orange jasmine blooming after the rain. Simple, beautiful, and makes me feel calm inside. As with the orange jasmine blooms that will all fall out with another rain, the feeling and condition will probably change, the moment will passed. But the calm remains inside. As my dear mum will pointed to me: I have made peace with myself.

No longer I crave for those adolescent splendor: walk hand in hand by the beach on sunset, snuggling close on a rainy day, or just looking and being with him 24 hours a day, and of course, the illusion of marriage or a happily ever after. For one thing, I can hardly communicate with him due to various reasons. By all probable means, by the time I had the chance to meet him in person again he would probably already have a wife (to-be) in tow, and perhaps even a child or two. He might not (or choose not to) realize what I felt inside. Yet it really doesn't matter now.

What I crave is for him to know I'll always be with him in spirit. I longed to hold his hand in troubles and assure him he can make it. I want to see him smile and laugh and be happy with his life. I want to help him be a better man, because he is. I don't care if I'm not his "chosen" one. This calmness inside, this feeling I have for him is enough. I enjoy loving him.

In the past I made a grave error of thinking a happy marriage will save me, it will be a drug-of-all-choice for a great life. It's not. My life is great. I enjoy it immensely. And I should have done that from the start. I was so busy polishing him to be the-best-husband-to-be for my best-marriage-ever in order to have the-best-life. I take it so seriously I failed to see that there is no such thing as perfect marriage nor perfect life. It's being with him that counts. It's seeing his smile and knowing how happy I made him feel that should be counted, not how well those things will go in a marriage. It's not making dreadful calculation on how things should be going, but it's about enjoying things that is currently going. Marriage will not ensure me happy life. Myself will ensure a happy life.

It's a lesson live and learn, and I hope you readers can learn from my error and enjoy what you have with your loved ones. The feeling might change, the future is forever unclear. But for now, let me delight in him, cherishing every moment of this beautiful feeling. I'm in love.

Tuesday, January 11, 2011

Tiffie, BB, dan Kebanggaan Bangsa



Pasti semua sudah tau ceritanya kan? Ancaman pemblokiran BB oleh Menkominfo kita yang tercinta, yang tampaknya berpikir BB dipergunakan untuk mengakses pornografi dan sebagainya. Juga karena BB tidak punya data center, CS dan selengkapnya di Indonesia (sehingga ga bayar pajak), yang mana "melanggar hukum". Terlepas dari janggalnya tuntutan ini (klien-klien saya sudah pakai BB dari 2005, kenapa ga dari dulu-dulu diatur? kenapa baru sekarang setelah usernya 2 juta lebih?), yang lebih janggal lagi adalah justifikasi Mr. Tiffie: "Apakah kita harus selalu tunduk pada asing?". Well, bukannya selama ini iya?

Pendapat Tiffie ini sendiri di sampaikan lewat Twitter (punya asing). Apa salahnya dengan jumpa pers yang normal, dengan wartawan-wartawan lokal? Sebut saya bodoh, tapi saya ga mampu ngeliat kenapa kita "tidak mau tunduk pada pihak asing/bow to foreigners" dalam kasus BB, tapi tutup mata sementara Freeport, Newmont, dan beragam perusahaan milik luar negeri lainnya mengeruk dan merusak alam kita dengan hanya memberikan faedah yang minim untuk Indonesia. Kenapa kita permasalahin BB ga buka CS dan server data disini sementara TKI kita di negeri orang terlunta-lunta di kolong jembatan dan tanpa bantuan sedikitpun.

Ini memang hal yang berbeda, namun prinsipnya sama. Bukan hanya pihak asing seringkali merasa lebih superior dari kita, kita pun seringkali menganggap mereka memang "lebih" dari kita. Yang satu kelebihan harga diri, yang satu kekurangan harga diri. Apa iya mereka lebih baik? Apa iya kita lebih buruk? Saya yakin nggak.



Faktanya: orang asing di Indonesia (bahkan yang setengah asing, Chintha Loora anyone?) bisa mendapatkan gaji yang lebih tinggi dari pribumi asli. Layar kaca kita dipenuhi orang asing dan setengah asing yang bahkan ga becus bahasa Indonesia (I have no objection with Irfan Bachdim karena dia ada faedahnya, but I personally think Jack Hanafi sebaiknya dikirim balik ke Australia). Bahkan majalah wedding yang segmennya pribumi Indonesia selalu menampilkan mayoritas model bule, walau pemotretan diambil di Indonesia. Asal tahu saja, seorang fotografer dan model bule bisa mendapat 2 kali bayaran pribumi, walau hasil mereka sama atau bahkan lebih buruk dari fotografer/model pribumi ini. Fresh graduate lulusan luar negeri (walau hanya D3) bisa mendapat pekerjaan jauh lebih cepat dan dengan gaji lebih baik dari rekan mereka fresh graduate S1 lulusan Indonesia walau belum tentu mereka lebih becus kerja.

Sebelum anda menuduh saya dendam sama orang asing, I'm not. Teman2 paling dekat saya adalah orang asing, bacaan dan hiburan yang saya dapatkan mayoritas dari pihak asing (Yahoo, movies, books). Saya bukan anti orang asing, saya anti orang asing yang menganggap pribumi itu rendah, dan saya anti orang pribumi yang menganggap orang asing itu dewa. That simple.

Apa iya kita sejelek anggapan kita sendiri, seperti dalam cerita teman saya ini? Apa yang kurang dengan kecantikan khas orang Indonesia, kulit gelap nan berkilau dan senyum manis nan menawan? Apa yang kurang dengan kecerdasan orang Indonesia, yang di jaman dahulu kala sanggup membuat Borobudur dan Phinisi, dan di masa sekarang langganan menang olimpiade sains? Apa yang salah dengan masakan Indonesia, yang rasa nya jauh lebih beragam daripada masakan Eropa dan dengan kalori yang (saya yakin) jauh lebih sedikit? Apa yang salah dengan kesenian Indonesia, yang merupakan pesta dan hiburan bagi mata, telinga dan jiwa? We're good. We're really good.



Para pesimis akan bilang bahwa itu di masa lalu, negara barat lah kiblat maju sekarang. Mungkin dulu iya, namun dunia sudah berubah, sudah ga jaman penjajahan lagi. Pribumi Indonesia bisa dengan mudah mengejar ketinggalan mereka dari bangsa asing dengan berbagai informasi dan kemudahan yang ada sekarang. Plus tekad kuat dan kebanggan diri tentunya. Apa yang kita alami disini dan ga dialami oleh bangsa asing? Australia juga kebanjiran; Indonesia punya FPI vs Ahmadiyah, Amerika punya Westboro Baptist Church; Bank-bank besar Eropa hampir bangkrut dan penuh skandal seperti Century. Di masa ini bukan ras kita yang menentukan, namun pribadi kita sendiri.

Jangan menanggapi tulisan saya dengan sikap: "Yeah, bule sucks!", tapi tanggapilah dengan "yeah, we're good. And we're equal!". Karena memang iya. Kita mampu, kita sebenarnya setara, jadi stop melihat orang asing (atau setengah asing) dengan mata berbinar-binar, atau nempel/menjilat orang yang pernah tinggal atau kuliah di luar negeri. Jangan silau lah, kita bagus juga kok. Ga usah ngancam nge blokir BB cuma untuk nunjukin kita ga mau direndahkan bangsa asing, mulai aja dari diri kita sendiri. Have faith in yourself, banggalah menjadi seorang Indonesia :)

Notes:
- Saya ga pake BB, dan saya juga sebenernya ga suka BB hehehehe
- Thanks to Tracy P. atas izin nya nge-share notes dia
- Merah Putih by Pamanjee, Portrait of A Lady dan wanita yang sedang membatik (ga tau judul aslinya T.T) keduanya oleh Basoeki Abdullah

Search This Blog