AdSense Page Ads

Friday, November 1, 2013

Tersandera Buruh dan Tenaga Domestik

Kisruh soal gaji buruh bikin saya teringat "episode" saat salah satu bos saya mencari pembantu baru, kebetulan teman saya yang bertugas mewawancara:

Teman: Gajinya minta berapa mbak?
Pelamar: 800 ribu bersih. Ini ngga termasuk uang kos, cicilan motor, makan dan biaya sehari-hari saya.
Teman: Hah? uang kos dan makan juga kita yang tanggung? Total berapa mbak?
Pelamar: Yah, sekitar 2 juta. Iya, itu semua situ yangg tanggung. Kan situ ga nyari pembantu yang tinggal dalam
Teman: Kalau tinggal dalam minta berapa mbak?
Pelamar: Saya ga mau kalau tinggal dalam
Teman: Oh... Emm... Humm.... (shock)
Pelamar: Oh ya, pulsa juga ya
Teman: Kok tinggi banget mbak mintanya?
Pelamar: Biasa saya kerja sama bule dibayar segitu. Kalau situ ga sanggup ya ga usah.
Teman: Hee???????????????

Acara bersih-bersih tahunan (ceritanya)

Di Bali, lebih sakit hati mencari tenaga kerja rumah tangga (pembantu, sopir, dll) daripada mencari tenaga kantoran. Kalaupun ada, gaji yang diminta selalu selangit dengan alasan orang bule bayar mereka lebih mahal, padahal hasil kerja mereka sering kali dibawah standar. Ini satu lagi alasan mereka, beberapa kali saya menghadapi pelamar yang dengan tegas mengatakan mereka tidak mau kerja kalau tidak dengan bos bule, karena bule lebih royal dan ga banyak cing cong. Intinya mau gaji besar tapi tidak mau kerja maksimal. Waduh... Sementara satu kali ada seorang pelamar yang baru saja selesai kerja di hotel berbintang di Afrika Selatan dengan posisi yang cukup tinggi. Teman saya sampai gemetaran mewawancara orang ini, karena ia melamar untuk posisi sopir. Waktu ditanya kenapa, dia bilang dia asal bisa kerja saja sambil menunggu jawaban untuk lamarannya ke berbagai hotel. Teman saya mengingatkan bahwa pekerjaan ini "kasar", karena termasuk cuci mobil dan sebagainya, dan dia cuma tersenyum dan bilang: yang penting kerja mbak. Sayangnya kami tidak bisa menerima orang ini karena dia over qualified dan kami butuh driver yang permanen. 

Kalau dipikir-pikir ironis sekali, seberapa sering sih kita yang pegang ijazah saat wawancara bisa dengan pedenya bersikap: "Kalau loe ga sanggup hire gue ya ga usah!" dan mendikte bos kita? Seberapa sering sih kita dipertahankan di perusahaan walau kelakuan kita jelek banget dan hasil kerja kita ga beres? Si bapak yang pernah kerja di AfSel saja mau humble dan mengerti ia butuh pekerjaan, sementara si mbok yang cuma bisa ngetik SMS berani belagu dan menuntut ini itu. Kayanya kita yang pekerja kantoran bisa diganti dengan amat sangat mudah, kayanya kita ga ada artinya. Ironis bahwa kita yang bekerja keras dan mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk pendidikan punya nilai jual yang lebih rendah daripada tenaga domestik yang pendidikannya SMA.

Saya selalu respek dengan tenaga domestik. Waktu saya kecil keluarga saya selalu punya Mbok yang membantu mama dirumah. Biasanya Mbok-mbok ini datang benar-benar tidak tahu apa-apa, dan setelah setahun-dua kerja di rumah saya "lulus" dengan pengetahuan penuh: memasak, memakai mesin cuci, dsb; mereka lalu bisa mendapatkan pekerjaan yang gajinya lebih bagus. Ini yang saya hargai, niat untuk memperbaiki diri, bukan cuma menuntut hak tapi juga melakukan kewajiban. Sayangnya mbok-mbok sekarang lebih hobi pegang hape daripada kerja, karena tau ibu-ibu yang desperate untuk bantuan mereka ga akan berani protes rumah kurang bersih etc karena kalau bukan mereka mau cari dimana lagi? Buat saya, ini rasanya kaya pemerasan banget. Begitu halnya dengan buruh. Kita butuh mereka, mereka butuh pekerjaan, tapi kenapa mereka yang mendikte kita? Yang anarkis dan mengancam kita? Kalau kita ga mau pakai mereka, mereka juga rugi kok. Saya merasa tersandera dengan orang-orang ini.

Di Amerika, tenaga pembantu domestik atau kerennya domestic cleaning service itu muahal, $100/2 jam, misalnya saja tempat ini. Tapi hasilnya jangan ditanya, rapi jali bo'! Ini yang resmi ya, yang berijin dll. Namun banyak juga imigran yang menawarkan jasa mereka lebih murah (ini tanpa ijin ya), masalahnya kebanyakan dari mereka bahkan tidak bisa bahasa Inggris, dan kalau ada apa-apa juga sulit lapor ke polisi karena banyak dari mereka yang sebenarnya imigran ilegal. Seandainya saja di Indonesia ada yang model begini: yang bisa direview dan perusahaannya benar-benar service oriented. Atau persatuan buruh yang isinya tenaga-tenaga buruh profesional yang kerjanya efisien dan cepat mengerti. Kalau pembantu banyak sih seperti itu, tapi biasanya yang ada di Indonesia cuma mentarget seberapa banyak pembantu yang bisa "keluar"; begitu pula persatuan buruh yang saya sebut, itu ada dan istilahnya outsourcing, yang lagi-lagi cuma bikin buruh/membernya sapi perahan. 

Saya pendukung berat persamaan derajat dan membantu kaum miskin, tapi sori banget, sudah ga jaman lagi demo-demo minta gaji besar dengan pendidikan minim (dan hasil kerja yang mengenaskan). Miris banget kan membaca mereka minta gaji sampai 4 juta, tapi "anggaran pendidikan" mereka cuma Rp 15,000 untuk beli koran/tabloid. Itu cuma dapat 2 tabloid lho, karena koran saja harganya Rp 3,000 seharinya. Apa sih yang bisa dipelajari dari tabloid Indonesia? Bola, motor, atau gosip? Buat saya argumen "wong cilik" mereka patah begitu mereka menuntut rumah 3 petak, belanja baju Rp 300,000 per bulan, dan makan diluar (plus susu, kopi, teh, dan buah) tiap hari. Ini bukan "wong cilik" lagi, yang pegawai kantoran saja tidak bisa hidup seenak ini. Bukan "wong cilik" kalau bilang jumlah sekian "penghinaan" karena banyak masyarakat Indonesia yang cukup atau bahkan sangat bahagia dapat gaji 2,4 juta rupiah. Dan kalau mereka merasa berhak dapat gaji sekian, maka sopir mikrolet metromini dan angkot lainnya juga berhak dapat gaji/pendapatan sekian karena mereka juga "wong cilik". Siap-siap deh ongkos angkot naik, eh tapi nanti mas-mas tercinta butuh kenaikan lagi dong... Emang loe pikir duit cuma tinggal nyetak aja??? Argumen "wong cilik" mereka juga jelas patah begitu mereka melakukan tindakan anarkis atau merugikan masyarakat luas. Sori bro, gue kesian kalau hidup loe susah, tapi jangan nyerang atau nyalahin gue kalau loe sirik sama hidup gue, jangan maksa gue nanggung defisit hidup loe dan bikin loe punya hal-hal yang gw punya. Gue ga nyolong dari elo ato nyusahin elo kok!

Yang Indonesia butuhkan adalah keprofesionalan, dan orang-orang yang service oriented. Saya membayangkan di Indonesia ada grup tenaga domestik yang dikontrol ketat, yang hasil kerjanya memuaskan dan bisa dipercaya; tidak masalah kalau yang bisa dilayani hanya segelintir orang, karena dengan sendirinya grup ini akan selalu dicari dan bisa pasang harga lebih mahal. Begitu pula dengan tenaga buruh atau pekerja lainnya, yang isinya orang-orang yang secara aktif memajukan diri mereka misalnya belajar komputer, bahasa asing, dan lain-lain. Istilahnya, kalau anda tidak oke dalam pekerjaan anda (walaupun itu kerja kasar sekalipun), maka good bye selamat tinggal. Jeleknya mimpi ini adalah, bila terwujud maka tenaga domestik tidak terjangkau lagi bagi kebanyakan masyarakat Indonesia (sekarang pun sudah sulit sebenarnya). Tapi serius, apa anda benar-benar rela dipaksa membayar mahal untuk hasil kerja yang tidak seberapa? Sudah saatnya pistol itu diturunkan. Saya bosan disandera seperti ini.

No comments:

Post a Comment

Search This Blog