AdSense Page Ads

Monday, December 2, 2013

Jualan Kemiskinan? Yuk Mareeeee......

Waktu berita soal iklan Lifebouy tuai protes di NTT keluar, banyak yang mencibir dan mencela. Dibilang pahlawan kesiangan lah, dibilang tak tahu diri padahal memang miskin lah, dibilang minta CSR yang lebih tinggi lah, intinya: "Elu miskin! Ngaca napa?!"

Lah, emang orang miskin ga boleh punya harga diri?

Pertama-tama, mari kita menekur sejenak: apa sih 'miskin' itu? Buat anda yang punya mobil, saya yang cuma naik motor tentunya terlihat miskin. Tapi di mata rekan anda yang punya 3 mobil, anda yang cuma punya satu tentunya terlihat miskin, dan bagi teman saya yang cuma naik bis dia lebih miskin daripada saya. Jadi apakah saya miskin? Kalau anda kekeuh bilang saya miskin, ya itu urusan anda. Tapi saya ga merasa miskin tuh. Dengan kata lain: kemiskinan itu sebuah perspektif.

Bokor perak buatan Bali, karena divisi silverwarenya Tiffany ga ngeluarin produk ini
#Sarkasme #siapayangmiskincoba

Orang-orang yang saya temui di Amerika sini tercengang-cengang waktu saya bilang hal paling berkesan buat saya di Amerika adalah air keran siap minum. Saya tahu mereka pikir negara saya miskin banget dong. Tapi saya ga merasa negara saya miskin. Awal-awal saya pacaran dengan pasangan saya, kami seringkali bertengkar karena saya merasa dia menganggap remeh Indonesia. Saya bilang: "Kami memang tidak punya kemudahan yang kalian punya, tapi itu bukan berarti kami lebih rendah dari kalian". Setelah hampir 2 tahun menjalin hubungan dan 4 trip/liburan ke Indonesia,  sekarang dia lebih kangen Indonesia daripada saya. Tidak punya sesuatu yang umum dimiliki orang lain bukan berarti kita miskin atau memiliki derajat hidup yang lebih rendah dari orang lain (yang kebetulan punya). Kadang itu cuma berarti kita menjalani hidup yang berbeda.

Saya sepenuhnya mengerti protes para masyarakat NTT. Bukan mereka belagu dan ga mau dibantu ya, tapi lebih ke harga diri mereka. Eksploitasi kemiskinan itu sering kok. Di Bali saya pernah bekerja dengan LSM asing yang konon membantu masyarakat miskin di Bali. Konon membantu, tapi tiap kali minta dana yang keluar adalah Poor, Illiterate, Disadvantage dan beragam kosa kata yang intinya: "ni orang miskin, kesian dikit kenapa?". Hasilnya: vila mewah di puncak bukit milik si penggagas LSM, dan perasaan rendah diri orang-orang yang dibantu. Kebayang ga, anda merasa hidup anda baik-baik saja lalu si orang reseh ini datang dan bilang: "Aduuuuh, gaji kamu sebulan cuma setara gaji saya seminggu....!! Kasian ya, pasti kamu ngerasa kurang bangeeeeet.....!!". Pastinya anda jadi merasa minder dan kesal kan, walaupun orang itu memang benar-benar tulus prihatin terhadap anda. Kalau kita ngerasa hidup kita baik-baik saja, apa hak orang lain untuk datang dan mengupas tuntas 'kemiskinan' kita versi mereka?

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membantu masyarakat NTT atau daerah penuh tantangan lainnya [Ingat, bukan miskin tapi penuh tantangan!]; dan itu bisa dilakukan tanpa mengeksploitasi kemiskinan, tanpa merusak harga diri mereka.  Contoh nyata: video untuk Charity Water dibawah ini. Sama-sama menyoroti kemiskinan, namun dibuat sedemikian rupa sehingga subyeknya masih punya "harga diri' dan bukan cuma sekedar: "Mereka miskin lhoooo.....!!!". Contoh lain bisa dilihat disini, sebuah parodi tentang maraknya iklan pencarian dana yang menitikberatkan kemiskinan di Afrika. Ibaratnya kalau mau ngebantu ya ngebantu aja, jangan bikin yang dibantu ngerasa dipermalukan dan kehilangan harga diri, jangan jualan kemiskinan demi tujuan situ.



Anda-anda yang membaca ini di laptop /komputer canggih dan hape mentereng di kedai kopi dalam mall yang harga secangkir minumannya yang paling murah setara dengan 3 nasi bungkus warteg pakai ayam mungkin tidak percaya kalau Indonesia masih dianggap negara terbelakang oleh para negara (yang konon) maju dan jadi bahan olokan. Berasa 'Jlebb' banget ga sih, sama-sama minum kopi bintang-bucks dan pake i(Lele)Pon tapi dianggap ga lebih baik (atau bahkan lebih buruk) dari orang homeless negara mereka. Ini jadi semacam misi pribadi saya untuk men-counter dan mengedukasi orang-orang yang miskin informasi ini bahwa Indonesia mungkin tidak punya standar hidup yang sama dengan negara (konon) maju ini, tapi warisan budaya dan kebajikan kuno kita jauh lebih maju dari kebudayaan mereka sekarang. Bahagia rasanya kalau pas saya buka mulut saya bisa mengutarakan hal-hal yang lebih santun dan lebih beradab daripada warga negara (yang konon) maju dan membuat mereka jadi respect dengan Indonesia dan tahu Indonesia itu bukan cuma sarang teroris dan negara terbelakang seperti digambarkan media mereka. Anda marah dianggap terbelakang dan sarang teroris? Kebayang kan perasaan masyarakat NTT.

Sudah saatnya kita melihat "kemiskinan" secara berbeda, bukan sekedar 'punya' dan 'tidak punya'. Tiap daerah memiliki standar kemiskinan dan kekayaan sendiri, dan memaksakan/menyama-ratakan konsep 'kemiskinan' itu sama efektifnya dengan memaksakan nasi sebagai makanan nasional. Kalau di Papua selama berabad-abad tidak membudidayakan beras dan makan ubi sebagai makanan pokok, bukan berarti mereka miskin bila tidak makan nasi kan.  Masyarakat NTT (dan banyak pulau/daerah lainnya di Indonesia) butuh air bersih, butuh aksesibilitas, butuh pendidikan dan tenaga medis, butuh pelayanan publik yang setara dengan daerah maju di Indonesia seperti Jakarta atau Bali. Ini yang harus kita lihat dan kita fokuskan. Kenapa mereka butuh ini? Karena daerah mereka sulit mencari air bersih, karena aksesibilitas dan pelayanan publik adalah hak tiap warga negara Indonesia. Ini alasannya. Jangan sekedar mencap mereka 'miskin', jangan alasan membantu karena mereka 'miskin', jangan jual 'kemiskinan' mereka. Anda tidak tahu, bisa jadi hidup mereka lebih bermakna dari hidup anda sekarang. Bila iya, siapa yang miskin sekarang?

No comments:

Post a Comment

Search This Blog