AdSense Page Ads

Sunday, June 29, 2014

Ini Negaraku, Ini Bahasaku!

"Kita perlu presiden yang cerdas dan pintar berbahasa Inggris, dan bukannya yang menipu rakyat dengan pencitraan palsu!"

Darah saya mendidih membaca status diatas. Bukan soal capres jawara saya dianggap 'bodoh' dan 'penipu', tapi karena Bahasa Inggris dijadikan tolok ukur 'kemampuan' seseorang, dijadikan salah satu persyaratan untuk jadi presiden Indonesia. Saya marah karena bahasa asli kita adalah Bahasa Indonesia, dan bukan Bahasa Inggris; dan karena 'persyaratan' Bahasa Inggris ini secara efektif mengeliminasi hampir seluruh warga negara Indonesia yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan fasih karena strata sosial dan kondisi keuangan mereka. Bisa berbahasa Inggris itu suatu privilese, suatu 'kemewahan' yang didapat karena nasib anda lebih baik dari orang lain. Serius.

Buat kita (yang konon) orang terdidik, Bahasa Inggris mungkin sudah seperti bahasa kedua kita. Saya lebih fasih berbicara Bahasa Inggris daripada bahasa Bali, dan saya rasa banyak orang seperti saya. Tapi kita tidak sadar bahwa untuk bisa belajar Bahasa Inggris dengan baik dan benar merupakan suatu 'kemewahan' tersendiri. Biaya les bahasa asing di lembaga seperti LIA, EF, IALF dan sebagainya tidak terjangkau bagi kebanyakan orang Indonesia, dan butuh kemampuan pemahaman yang super hebat untuk bisa Bahasa Inggris secara otodidak/hanya belajar dari lagu buku atau film. Dan bahkan setelah anda menghapal segala grammar/tata bahasa dan vocabulary/kosa kata yang diperlukan, anda tetap harus berlatih dan menggunakannya setiap hari agar anda fasih berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dalam Bahasa Inggris. Buat kita yang terdidik di sekolah-sekolah (elit), ini tidak masalah. Tapi bagaimana dengan warga negara Indonesia yang tidak memiliki akses/kemudahan seperti ini?

Ini bukan lagi soal capres 2014, ini soal bangsa Indonesia dan bahasa persatuan kita.

Pengalaman saya selaku guru Bahasa Inggris selama 4 tahun membuka mata saya tentang ketimpangan kemampuan Bahasa Inggris diantara penduduk Indonesia (atau lebih tepatnya Jakarta). Dan ya, ketimpangan ini disebabkan oleh kemampuan finansial mereka. Saya dibayar 2 kali lipat lebih banyak untuk period mengajar yang sama antara kelas privat A dan kursus masal B. Di kelas privat A saya duduk dengan manis bersama 2 murid saya di kamar belajar mereka, dikelilingi buku-buku dan game/mainan-mainan dengan Bahasa Inggris; orang tua dan bahkan nanny mereka pun berbicara dengan saya dalam Bahasa Inggris walau tak sempurna. Di kursus masal B saya memiliki 15 murid yang beberapa diantaranya berpikir Bahasa Inggris itu buang-buang waktu saja, dan di dalam ruangan kursus yang kecil itu saya berusaha sebisa saya memasukkan dasar-dasar Bahasa Inggris ke dalam otak mereka hanya berbekal buku kursus yang tidak lengkap dan materi tambahan yang saya unduh dari internet dan saya print/cetak dengan menggunakan uang saya sendiri. Tebak yang mana yang sekarang mampu berkomunikasi dengan Bahasa Inggris secara lancar jaya?

Butuh bukti lagi? Buku pelajaran Bahasa Inggris yang benar-benar bagus dan lengkap (misalnya saja dari Betty Azar) harganya sekitar Rp 200,000; buku cerita berbahasa Inggris yang impor harganya paling sedikit Rp 50,000. Buku pelajaran berbahasa Inggris yang terjangkau buatan Indonesia memang bisa dicari di pasaran dan bisa didapat dengan hanya Rp 10,000, begitupula dengan buku cerita bergambar yang sudah terlihat cantik dan menarik bisa didapat dengan hanya Rp 25,000; tapi isinya lain cerita. Suami saya yang orang Amerika membeli buku-buku murah ini untuk membantunya belajar Bahasa Indonesia, tapi kemudian ia bertanya "Kenapa terjemahannya banyak salah begini ya?". Sayangnya buku murah ini yang lebih mungkin dimiliki mayoritas warga negara Indonesia, yang penuh typo/salah ketik, tata bahasa yang kurang tepat, bahkan sebutan kuno (garpu diterjemahkan sebagai 'spoon fork' alias sendok garpu di salah satu buku yang kami beli). 

Intinya: saat anda melecehkan kemampuan bahasa Inggris sesama warga negara Indonesia yang memiliki kesempatan dan sumber daya yang lebih sedikit dari anda untuk lancar berkomunikasi dalam bahasa Inggris, anda sebenarnya berkata pada orang tersebut: "Gue lebih kaya daripada loe. Hohohoho."


Pastinya ada segelintir orang yang mampu memaksimalkan sumber daya di sekitar mereka untuk belajar Bahasa Inggris secara otodidak, tapi orang-orang jenius ini tidak banyak; begitu pula orang-orang yang memiliki kesempatan untuk belajar bahasa Inggris dengan baik tanpa membayar. Dan ini yang harus kita sadari, bahwa kemampuan Bahasa Inggris yang kita miliki bukan jatuh dari langit, bahwa kemampuan Bahasa Inggris kita ini suatu privilese, suatu kemewahan; dan tidak pantas kita menilai sesama warga negara Indonesia dari kemampuan bahasa Inggrisnya saja. Saya sering sekali melihat diskriminasi ini, saya sering melihat teman-teman saya yang sebenarnya kompeten tapi sulit mendapatkan pekerjaan karena ketidakmampuan mereka berbahasa Inggris; dan sebaliknya, saya bisa semena-mena menaikkan tarif saya karena kemampuan bahasa Inggris saya. Bila anda bekerja di bidang yang memang membutuhkan bahasa Inggris, tentunya wajar bila anda dituntut bisa berbahasa Inggris sebaik mungkin; tapi apakah anda punya hak menertawakan atau menganggap remeh teman anda saat anda kongkow/nongkrong bareng hanya karena ia tidak bisa berbahasa Inggris sebaik anda?

Diskriminasi ini juga terlihat saat saya bekerja dengan klien asing, dimana klien-klien saya menganggap saya lebih baik (dan lebih berpendidikan) dari sales lain hanya karena saya bisa lancar berbahasa Inggris; sementara rekan saya seringkali tidak dianggap (padahal dia lebih bagus daripada saya). Padahal ini bukan bahasa kita lho. Serius. Coba pikir deh. 

Di Amerika Serikat sini kemampuan berbahasa Inggris makin lama makin penting karena banyaknya immigran yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik dan benar; hal ini menyebabkan para anti-imigran sangat vokal untuk menegaskan keharusan berbahasa Inggris disini. Sementara di Indonesia, kita malah sibuk melecehkan salah satu capres karena konon ia tidak bisa berbahasa Inggris. Capek deh. Apa ini bukan bentuk 'tunduk' terhadap kekuasaan asing? Saat kita menghargai bahasa asing lebih tinggi daripada bahasa kita sendiri? Sudah cukup kita tergila-gila dengan muka artis asing/blasteran di layar TV dengan nama-nama bule yang pasti si mbok dan mbah di kampung tidak bisa melafalkan, haruskah kita juga merelakan bahasa kita dianggap lebih rendah dari bahasa asing? (Buat yang mau komen bahwa tidak benar masyarakat Indonesia maniak muka artis blasteran, saya cuma ingin memberitahu bahwa sepanjang liburan 3 bulan kami di Indonesia yang mencakup Jawa-Bali-Lombok-Sulawesi semua orang Indonesia yang kami temui menyarankan agar saya segera punya anak dari suami bule saya agar anak saya bisa jadi 'artis').

Bila anda benar-benar tidak suka dengan si krempeng ndeso itu, monggo/silakan anda 'menyerang' dia dan membeberkan bukti betapa tidak kompetennya dia sebagai presiden nantinya. Tapi saya mohon, saya benar-benar mohon, untuk tidak berkata ia tidak pantas jadi presiden karena dia tidak bisa berbahasa Inggris; setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama di mata hukum, hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan, hak yang sama untuk menjadi presiden terlepas dari latar belakang dan kekayaannya. Memang benar presiden Indonesia nantinya harus berkomunikasi dengan bahasa Inggris kepada pemimpin dunia lainnya, tapi bukankah beliau akan jauh lebih banyak berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dalam menjalankan pemerintahan Indonesia? Pendapat bahwa presiden Indonesia harus fasih berbahasa Inggris agar tidak memalukan di tingkat dunia melecehkan Bahasa Indonesia, karena Bahasa Indonesia tidaklah inferior/lebih rendah dari bahasa Inggris. Menyulitkan mungkin, tapi jelas tidak memalukan. Tidak ada yang memalukan dari ketidakmampuan berbicara dalam bahasa asing yang bukan bahasa nasional kita, apalagi bila anda tidak memiliki sumber daya/kesempatan untuk mempelajarinya dengan sempurna.

Suami saya menguras tabungan untuk bisa tinggal dan belajar bahasa Indonesia selama 3 bulan di Indonesia. Dia membeli berbagai buku, mulai dari yang murah sampai yang mahal; dan mengalami frustasi tingkat tinggi karena ketidakmampuannya menguasai bahasa Indonesia dengan cepat. Tapi dia tetap bertahan, walau sebenarnya bahasa Indonesia tidaklah diperlukan untuk bekerja di Amerika Serikat. Dia bertahan karena keinginannya untuk bisa berkomunikasi dengan saya menggunakan bahasa asli saya, untuk meredakan kerinduan dan kehampaan yang saya rasakan saat jauh dari keluarga di Indonesia. Ini makna bahasa Indonesia, sebagai sebuah pemersatu. Saya bisa berbincang dengan teman saya dari Padang, dari Sulawesi, dari Jawa, dari berbagai penjuru Indonesia berkat bahasa Indonesia. Dalam 'petualangan' kami pun kami cukup banyak bertemu orang Indonesia yang tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia (hanya bisa berbicara dalam bahasa dareah mereka), namun dengan bahasa Indonesia seadanya kami mampu berkomunikasi dengan mereka. Inilah kenapa Mohammad Yamin dalam Kongres Pemuda Kedua mendeklarasikan Sumpah Pemuda dimana sumpah tersebut menjadi tonggak utama pergerakan kemerdekaan Indonesia. Inilah kenapa kita akhirnya bisa merdeka sekarang ini. Bukan karena bahasa Inggris, tapi karena bahasa Indonesia. Mari kita hargai bahasa nasional kita.

PS: Masih keukeuh/ngotot kalau tidak bisa bahasa Inggris kita bakal diejek dan dipermalukan? Saya menemukan artikel dari Washington Post dimana mereka 'meledek' batik yang dipakai pemimpin dunia saat konferensi APEC sebagai 'baju konyol'. Apa karena ini kita juga mau menghilangkan batik karena 'tidak sesuai standar dunia' dan 'malu-maluin'? Stop didikte asing lah...

Saturday, June 28, 2014

Saya Juga Punya Mimpi, Pak Martin

Martin Luther King pernah berkata: "I have a dream."

 "I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin, but by the content of their character. I have a dream today!"

Saya juga punya mimpi, Pak Martin Luther King....

Saya punya mimpi bahwa bangsa Indonesia mau bersatu dan menghargai sesamanya, dan tidak ada lagi tunjuk-tunjukkan "Dia kan tidak seagama/sesuku/sealiran"

Saya punya mimpi bahwa bangsa Indonesia mau menghargai sejarah dan budayanya, dan tidak ada lagi penghancuran budaya asli Indonesia atas nama 'kemajuan' atau bahkan 'agama'

Saya punya mimpi bahwa setiap warga negara Indonesia mendapatkan perlakuan adil dan kesempatan yang sama, dan tidak ada lagi diskriminasi

Saya punya mimpi bahwa negara Indonesia bisa menjadi negara yang besar, yang diakui dunia dan bukan hanya menjadi sapi perahan negara maju

Saya punya mimpi bahwa warga negara Indonesia akan memiliki kebanggaan tak terperi akan Indonesia, dimana jalan-jalan ke Taman Nasional Bantimurung di Sulawesi terdengar lebih hebat dan membanggakan daripada ke Gardens by The Bay di Singapura

Saya punya mimpi bahwa anak cucu cicit dan keturunan saya bisa berkata dengan bangga: Saya orang Indonesia

Sayangnya mungkin mimpi saya masih agak lama terlaksana, Pak Martin. Melihat kebencian dan ketidaksukaan yang seperti mendarah daging diantara para pendukung capres Indonesia di 2014 ini saya jadi ragu akankah persatuan dapat terwujud dalam waktu dekat ini. Padahal siapapun presidennya, masyarakatnya yang harus maju; bukan begitu Pak Martin? Kalau memang para penduduk Indonesia sudah bertekad untuk maju, walaupun presiden terpilih ternyata kampretos (maafkan bahasa saya Pak Martin) tentunya Indonesia bisa tetap maju bukan? Sayangnya ini malah seperti saling mengacungkan parang dan siap berperang, dan bisa-bisa bila calonnya tidak terpilih mereka akan melakukan berbagai cara untuk menjegal atau mengutuk pemerintahan terpilih dan bukannya bekerja sama untuk maju seperti halnya publik Amerika dengan Obama. Menyedihkan ya Pak Martin?

Tapi saya tidak mau hilang harapan Pak Martin. Saya juga punya mimpi dan saya akan terus mengejar mimpi itu. Dan suatu hari Pak Martin, suatu hari nanti kami bangsa Indonesia akan bersatu dan mampu melihat satu sama lain sebagai 'Bangsa Indonesia'. Mungkin ini perlu waktu lama Pak Martin, karena Amerika Serikat saja sampai saat ini masih belum sampai ketahap itu walaupun sudah merdeka selama lebih dari 300 tahun. Tapi 48 tahun setelah Pak Martin mengumandangkan pidato "I Have A Dream" bapak yang terkenal, Amerika Serikat memiliki presiden kulit hitam pertama. Jadi masih ada harapan toh Pak Martin? Suatu hari nanti Pak Martin... Suatu hari nanti....

Kelenteng di Bali yang mengadopsi still/gaya Bali

Saturday, June 21, 2014

Finding Mr. Perfect - Indiana Jones Way

"She looked at the steep black sand dune below her feet and it's long way down which ended on a sprawling bed of smooth volcanic rocks. She looked up and see the same black sand dune stretched for a good way till it reached the rim of the caldera. She realized she was trapped, perched like a bird with broken wings on the steep slope of the volcano. The sand beneath her feet kept getting loose, and she could feel herself sliding down with every move she made.

"I can't do it." She said with a tremble in her voice. The only way down for her is sliding down the steep sand slope, or perhaps even rolled like a log all the way down. Standing up and walked down with dignity was no longer an option in her mind. She was scared. She was frightened.

"Ary, look at me." He said. "I am here. I won't let you go. You can do it. I will catch you and help you if you slipped or fall. I won't let you go.""

As a normal 30-something woman, I have scoured numerous articles in magazines and blogs and books on what defines a perfect man. I have also heard advices, both requested and unrequested, of what virtues "Mr. Perfect" should have. To name a few: He should be affectionate. He should be considerate. He should be thoughtful. He should give you freedom. He should be able to provide for the family. He should be able to support you emotionally. You could say that Richard Gere's character in Pretty Women (complete with the inexhaustible credit card limit) is the epitome of the perfect man.

And thus, every woman search far and wide for their Prince Charming, the Mr. Perfect of their life based on this criteria, without a stop to realize that the core values for the perfect man are how much she can trust him and how well he proved his words and feelings towards her. All the other 'virtues' are nothing but a facade. Yes, that includes the white limousine and no-limit-credit-card.

I have lived all of my adult life believing in these virtues: ending and starting a relationship based on them, wanting so bad to have the perfect man. Even after I am married, I have had heated arguments with my husband over whose turn doing the dishes and other menial tasks/petty issues. I considered my husband's reluctance and/or delay on completing these tasks a great offence and a sign that he does not honor me or think of me as an equal. I know I'm not the only one like this though, because it is such a staple for women's jokes and memes. Sad isn't it?

Yet when you are grasping for air 250 meters (760 ft) from shore with a badly functioning snorkling mask and a fear for the unknown sea without a single soul nearby those arguments don't matter anymore. Or when you find yourself in a foreign country at night with very little chance on returning to the other country you know of on the same day. Or when you found yourself stucked in the mountain slope and lost all hope for a safe (and dignified) way down. Or when you are tunelling in a cave filled with caskets and skeletons of long deceased people with. Or when you have to navigate your way on a slippery clay barely-there path that hugs a stupendous karst hill. Or when you walked and hiked over river banks, waterfall (which has taken 40 people's lives with its strong undercurrent), sharp rocks en route to an ancient cave with its fast underground rivers, battling humidity and slipperiness of tropical forest and its vicious ants just to see a secluded lake. Or when you walked in a seemingly never end vast cave and afterwards the ever exhausting climb down.

Those arguments really doesn't matter on moments like these, when all you could think of is how to get to your comfort zone ASAP, or at least to reduce the fear and agony you felt for your dear life. And when you realize that your man is the only person you can rely on (since there was only two of you in the ordeals), and not only he managed to calm you and encouraged you, he also lead you and take you back to safety, you will feel those arguments are downright foolish.

Throughout our 3 months self-finding journey in Indonesia I have been subjected to a fair share of adventures thanks to my ever-enthusiastic husband. Within these 3 months I have been pushed to my limit, both physically and mentally, more than I've ever been pushed before in my whole 30-something life. I have succumbed in fear, broke in agony, trapped in hopelessness; yet at the same time I have been told over and over again that I could do it, I have been held so tightly and guided both by words and by sheer physical strength of my husband, and I have came out victorious in all ordeals, and a better, stronger person than I was before. More importantly, I have seen undisputed evidence on how much my husband loves me and care for my well being, on how accurate he knows my mental and physical ability, on how trustworthy he is with his words. And how he never, ever let me go.

Our trip will soon come to an end, and we will have to go back to 'reality'. But my reality is, I have found my perfect man. Others will have different experiences in this matter, it may take less glamorous occasions or more extravagant events to find it, but the truth stays the same: you will know what something (or somebody) is made of under pressure. I have the luxurious experience of knowing what kind of man my husband is, and I couldn't be happier. When jealousy and insecurity attacked, when doubt and ego overwhelmed me, I would close my eyes and remembering his encouraging words in the dense forest of Indonesia, in its dark caves and sprawling oceans, in its cold mountains and steep hills; words that were laced with love and strong desire for my comfort and happiness. I would close my eyes and remembering the strong grip he had on my arms and waist as he lead and guided me to safety, and his unbroken promise that we will conquer the challenge together. With that, I'd be at peace.

This knowledge, this trust, it is a big deal for me because knowing the man my husband is strengthen our bond even tighter. I wish all the people in this world would have this epiphany about their partner, and those who have had this knowledge will forever remember it. People change, they always do; human's actions and thoughts are always tampered by their surroundings and can change accordingly. But the soul within is a different territory, and once you get a glimpse of it from a person you know it will be like that forever because a soul seldom change. Thus, if you like what you see under the pressure, you might want to make an extra effort to keep it, and more importantly, to trust it.

The night have fallen and morning will soon come. My husband has stirred in his sleep and rolled over to hug me in his sleep. I can feel his warm sweet breath on the nape of my neck and his comforting arms around my waist, spooning me in a fetal position. It is time to end this note and to be lost in dreamland with him. I took the trust fall, and we both won. People can write long complicated essays about Mr. Perfect, but I've found mine; not in the swanky city scene, not in the homey daily-life scene, but in the magical wilderness of Indonesia. I hope you will find yours too, dear readers. I hope you'll find yours too. Goodnight :)


Friday, June 13, 2014

Absennya Si Satria Piningit

Ada hal menarik yang saya temukan dari 3 film Princess/Putri-putrian Disney terakhir, yaitu Brave, Frozen, dan Maleficent; dimana ketiga film ini mematahkan epos "Someday my prince will come". Tidak ada pangeran tampan berkuda putih yang menyelamatkan mereka dari yang jahat atau merengkuh mereka penuh cinta (taelah...), para tokoh utama di film ini harus berusaha sendiri memecahkan masalah mereka. Alih-alih menunggu si pangeran (atau figur penguasa lain) menolong mereka, mereka lanjut sendiri dengan problematika mereka. Realistis sekali menurut saya, karena satria piningit itu tidak ada.

Sekali lagi, satria piningit itu tidak ada. Titik.

Anda boleh berharap ada satria all-in seperti di ceritera wayang atau kitab-kitab suci, anda boleh berharap akan ada nabi/titisan dewa/utusan Tuhan yang akan membereskan segala sesuatu, anda boleh berharap semua akan dengan begitu saja menjadi 'benar' dan sebagaimana seharusnya. Anda bisa berharap sampai kiamat, dan hal itu tidak akan terwujud. Kenapa? Karena satria piningit itu tidak ada. Masalahmu ya masalahmu, Tuhan akan membantu melancarkan tapi tidak membereskan. Beliau tidak cuma mengurus satu manusia saja lho.

Masalah dengan konsep 'satria piningit' adalah besarnya harapan yang kita bebankan di 'orang pilihan' ini, yang mana sebenarnya kita melepas tanggung jawab kita. Seperti waktu kita kecil dan berharap ibu akan membantu kita mengganti celana kita saat kita mengompol, atau ayah yang memperbaiki mainan yang kita rusakkan, atau pak/bu guru yang melerai dan membela kita saat kita berkelahi. Saat kita tidak berdaya sah-sah saja berharap keajaiban. Tapi saat kita mampu, menengadahkan tangan mengharap mujizat sama saja seperti pengemis berbadan tegap dan sehat lahir batin berharap mendapat uang untuk makan hari itu.

Konsep satria piningit ini begitu menonjol (buat saya) pada masa menjelang akhir kampanye presiden 2014 ini, dimana aroma black campaign begitu keras dan masyarakat semakin terpecah+semakin 'kejam' dalam berkomentar. Apa iya kalau Jokowi naik Indonesia langsung bebas korupsi? Apa iya kalau Prabowo naik ekonomi Indonesia langsung melejit naik? Jawabannya tidak. Pak presiden terpilih cuma bisa berusaha mengarahkan warga negaranya, masalah achievement itu balik lagi ke orang pribadi. Apa kalau Jokowi/Prabowo naik kita langsung tertib lalu-lintas, atau menjalankan Pancasila, atau menjadikan Sumpah Pemuda nyata dan mau bersatu tanpa melihat SARA? Kalau anda menjawab "Ya, itu pasti terjadi kalau calon presiden saya terpilih!", perkenankan saya bertanya: "Kenapa tidak sekarang? Kenapa harus menunggu si A atau B naik?"

5 tahun bukanlah waktu yang lama. 10 tahun juga tidaklah terlalu lama. Obama sudah menjabat presiden selama 6 tahun (menuju 8 tahun) dan tidak banyak perubahan yang ia lakukan, perubahan yang ia lakukan pun masih bisa digugat dan dibatalkan oleh sistem pengadilan sana. Kenapa kita optimis sekali kalau si A atau B naik maka Indonesia langsung kinclong? Semua butuh proses bung. Saya sangat kagum dengan MRT Singapore karena kecepatannya dan kerapiannya. Saat saya mencoba MRT Singapore saya langsung berkomentar, "MRT ini menunjukkan betapa berdedikasinya dan tekunnya orang Singapore, karena butuh waktu lama membangun MRT ini dan mengimplementasikan sistem se-flawless ini." Benar saja, MRT Singapore mulai beroperasi tahun 1987, saat saya mencoba MRT tersebut, ia sudah berusia hampir 27 tahun. Bila diterapkan dalam konteks negara Indonesia, sanggupkah kita bertekad membuat perubahan dan menjalankannya selama setidaknya 3 dekade? 3 dekade berarti setidaknya 6 kali pemilu, yang (bisa jadi) berarti 6 presiden. Apakah siapa yang kita pilih benar-benar akan membuat perubahan untuk Indonesia?

Yang akan membuat Indonesia jadi lebih baik bukan si satria piningit alias capres kita. Yang akan membuat Indonesia jadi lebih baik adalah anda, saya, dan seluruh warga negara Indonesia. Mungkin bila memang kita dianugrahi pemimpin yang bisa mengayomi dan membawa Indonesia menjadi lebih baik (setidaknya selama 5 tahun kedepan) ya syukur. Tapi kalau ternyata yang terpilih brengsek sebrengsek-brengseknya itu tidak berarti Indonesia terpuruk dan terbelenggu dalam kebobrokan lagi selama 5 tahun. Tanpa peduli siapapun presidennya saya melihat teman-teman saya meraih mimpi dan menjadi lebih baik berkat usaha mereka sendiri. Tanpa peduli siapapun presidennya saya melihat orang Indonesia bangkit dan mulai bangga menyebut lantang "Saya orang Indonesia!". Tentu, dengan pemerintahan yang lebih baik semua hal ini bisa dengan mudah dicapai; tapi bahkan di negara maju seperti AS pun tidak semua orang mampu dan mau memanfaatkan kemudahan ini.

Sekarang saatnya memilih dengan akal sehat, dengan apa yang anda inginkan terwujud untuk Indonesia selama setidaknya satu dekade kedepan. Bila calon anda (yang anda rasa mampu melancarkan agenda anda) terpilih, maka teruskanlah. Bila calon lain yang terpilih (dan ternyata merusak Indonesia) tetap teruskan perjuangan anda. Ingatlah MRT Singapore yang butuh hampir 3 dekade untuk berjalan lancar dan mulus. Ingatlah bahwa anak cucu cicit anda akan tinggal di bumi pertiwi ini, dan pikirkan tempat/negara seperti apa yang anda inginkan untuk mereka. Ingatlah ilmu lidi yang tidak bisa dipatahkan saat digabung menjadi satu bonggol besar. Ingatlah bahwa tanah negeri ini basah oleh darah para pejuang dari berbagai suku golongan dan agama yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dan dari sanalah istilah "Tanah Tumpah Darahku". Ingatlah bahwa tanah negeri ini subur oleh belulang leluhur sebelum kita, termasuk pendatang dari negeri Cina, India, Jazirah Arab, dan berbagai kebudayaan lain semenjak jaman dahulu kala yang akhirnya berasimilasi dengan kebudayaan suku asli Indonesia dan menjadi Indonesia yang kita kenal sekarang.

Satria piningit itu tidak ada. Berhenti merengek dan mengharapkan oramg lain membereskan masalah/ketidaknyamanan yang anda rasakan. Sebaliknya, lihat kedalam diri anda; karena si 'satria piningit' itu adanya di dalam diri anda. Andalah 'satria piningit' untuk diri anda sendiri, dan mungkin juga untuk bangsa ini. Batang-batang tipis lidi yang dijadikan satu akan mampu menahan beban yang berat dan berguna untuk lebih banyak hal daripada batang-batang lidi yang terpencar/berserakan. Bukankah demikian dengan 'satria piningit'-'satria piningit' dalam diri kita semua? Mari, kita maju bersama!

Monday, June 9, 2014

Saatnya Bersuara

Saya tidak suka menunjukkan afiliasi politik saya. Buat saya politik itu kotor dan sama saja, masuk bagus pun ujung-ujungnya brengsek. Dulu saya ngefans habis sama Budiman Soedjatmiko, keren dan revolusioner untuk negara ini pikir saya. Sampai sekarang saya belum lihat ada kontribusi berarti darinya untuk Indonesia dari segi pemerintahan, boro-boro revolusi bikin Indonesia bersih dan nyaman untuk ditinggali. Percuma toh gontok-gontokan sama teman kalau ternyata calon yang saya pilih ga ada gunanya? Itu lagi satu yang saya malas, debat berkepanjangan sama teman dan keluarga yang afiliasi politiknya beda dengan saya. Kalau ada gunanya sih yuk mari, biar Indonesia lebih baik; tapi biasanya cerita lama terulang: pemimpin yang korup dan ga becus plus warga negara yang ga pedulian. Percuma toh?

Tapi pilpres kali ini beda.

Di blog ini saya berani buka mulut dan menulis pendapat saya tentang berbagai hal yang menurut saya bisa mengubah dunia jadi lebih baik. Saya menulis tentang anti-bullying. Saya menulis tentang persamaan hak untuk semua orang. Saya menulis tentang respect/hormat untuk semua orang (termasuk PSK). Saya menulis tentang agama di Indonesia, berusaha menyadarkan orang-orang agar tidak saling membenci atas dasar agama. Saya tahu pendapat saya bertentangan dengan banyak teman saya, dan mereka bisa balik bodi karena tidak suka dengan pendapat saya. Buat saya ini adalah risiko yang sepadan, karena saya percaya isu yang saya kemukakan penting untuk kelangsungan dan keutuhan Indonesia, dan penting untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk calon anak cucu saya nanti. Maka dari itu, untuk pilpres kali ini saya memutuskan bersuara. Saya memutuskan mendeklarasikan pilihan saya.

Tag line nya: I stand on the right side. Apakah Jokowi-JK itu "the right side" saya tidak tahu. Tapi "harapan" buat saya akan selalu menjadi "the right side", dan itu yang ada di pihak Jokowi-JK. Harapan. Saya bukan memilih Jokowi-JK karena yakin mereka bisa mengubah dan membereskan Indonesia dan semua jadi super ok. Mereka cuma manusia, yang mana terikat koalisi partai dan masuk ke dalam sistem pemerintahan yang korup dan carut marut, dimana kepentingan seorang 'saya' lebih penting daripada kepentingan segenap 'bangsa'. Naif sekali bila berpikir mereka sendirian bisa membetulkan negara ini. Tapi mereka tidak sendirian. Para pendukung Jokowi-JK percaya pada mereka, percaya bahwa Indonesia bisa jadi lebih baik. Hampir semua komentar dan dukungan terhadap Jokowi-JK yang saya baca terasa tulus dan penuh harapan akan Indonesia yang lebih baik, dan saya yakin para pendukung ini akan terus mengawal dan mengusahakan Indonesia yang lebih baik. Saya tidak percaya Jokowi-JK, tapi saya percaya sepenuhnya pada rekan-rekan sebangsa dan setanah air. Saya percaya Indonesia.

Untuk pertama kalinya Indonesia bersuara lantang, walau mungkin sebatas di kota besar. Untuk pertama kalinya Indonesia tidak cuma diam dan cuek terhadap politik dan pemimpin negara. Untuk pertama kalinya Indonesia tersadar bahwa Indonesia bisa jadi lebih baik, dan berani memilih dan mengambil langkah ke arah itu. Ini 'harapan' yang saya maksud, ini 'harapan' yang saya perjuangkan. I stand on the right side, I stand on the side of Hope. Indonesia, saatnya bersuara!

Search This Blog