AdSense Page Ads

Tuesday, February 17, 2015

Diskriminasi (Muslim) di Amerika: Tolong Riset Dulu Ya

Saya bangun jam 3 pagi hari ini membaca komentar di fesbuk saya tentang wanita berjilbab yang didiskriminasi di pesawat Delta Airlines. Pikiran langsung berputar merangkai kata-kata, mencoba menjelaskan pada dunia (baca: orang Indonesia) tentang kondisi yang sebenarnya di Amerika dan berusaha mengadvokasi tentang perbedaan antara diskriminasi dan free speech. Begitu suami saya bangun dan mulai bekerja di komputernya, saya pun bangun dan mulai mengetik artikel untuk blog ini. Alarm berbunyi sekali, menandakan sudah pukul lima pagi. Dua kali. Tiga kali. Sesudah alarm kertiga barulah saya tersentak sadar, saya belum memasak nasi untuk bekal suami ke kantor hari ini. Saya langsung mulai memasak nasi sementara suami saya bersiap untuk pergi ke kantor. Saat menunggu nasi matang saya menjadi emosi, merasa bersalah karena menelantarkan tugas saya sebagai istri hanya karena saya berusaha 'membetulkan dunia'. F*ck it. F*ck it all.

Buat saya, tujuan akhir manusia bukanlah surga sebagaimana yang ada dalam kitab suci yang selalu digambarkan sebagai tempat yang ajaib dan semuanya tersedia untuk manusia. Tujuan akhir manusia adalah kedamaian sejati. Kalau cuma surga sebenarnya sudah ada di dunia ini, tergantung kita bisa melihatnya atau tidak. Seseorang yang hatinya lapang dan damai selalu bisa melihat hal yang indah dari semua aspek yang ada di dunia ini, jadi buat dia ya dunia ini surga. Sebaliknya, yang sibuk parno dan penuh pikiran negatif pasti merasa dunia ini mengerikan seperti neraka. Inilah sebabnya di blog ini saya berusaha membuat para pembaca saya bisa melihat dan mengerti sisi lain dari berbagai permasalahan di dunia, karena pengertian adalah jalan untuk penerimaan, yang kemudian akan berujung pada kedamaian.

Tapi saya bisa bilang apa kalau begitu ada berita seperti diatas semua orang langsung me-like dan men-share tanpa repot-repot mengecek laporan yang lebih lengkap dari media Amerika, karena Youtube bukanlah sumber yang lengkap terpercaya. Di berita itu sendiri tidak ada kata-kata bahwa ia dipindah karena jilbabnya. Padahal cuma perlu semenit untuk meng-google cerita aslinya, dimana sebenarnya penumpang lain sudah protes akan tindakan pramugari tersebut dan banyak komentator yang juga setuju bahwa tindakan tersebut tidak benar. Padahal bila baca cerita aslinya kita akan ngeh bahwa ada ketidaksesuaian antara cerita versi Bahasa Indonesia dan versi Bahasa Inggris yang saya duga dikarenakan terjemahan yang salah. Misalnya saja di artikel Indonesia dikatakan "Itu benar-benar waktu yang sangat buruk. Aku merasa tidak ada persatuan di sana," sementara aslinya wanita ini berkata: “As bad as that moment was, I did feel a lot of unity,”

Diskriminasi adalah sesuatu yang bisa disembuhkan secara paksa. Setidaknya di Amerika sini. Walau seolah kaum minoritas tersiksa dan terinjak disini, sebenarnya hukum anti-diskriminasi di Amerika sangat ketat dan orang tidak bisa semena-mena mendiskriminasi atau mengharrassed/mengganggu orang lain. Kirim CV saja disini dianjurkan tidak memakai foto kok, agar tidak jadi sumber diskriminasi. Itu juga sebabnya orang diatas 40-50 tahun masih bisa melamar pekerjaan disini, padahal di Indonesia lowongan kerja di koran biasanya minta maksimal berumur 25 tahun untuk wanita. Dengan hukum dan penegakan hukum yang kuat, diskriminasi adalah penyakit sosial yang bisa dipaksa untuk disembuhkan. Sayangnya ignorance atau ketidakpedulian lain cerita.

Seperti saya bilang diatas, tidak perlu waktu lama untuk melacak cerita aslinya. Tapi orang Indonesia begitu baca judul yang bombastis (dan bahkan tidak repot-repot membaca isi ceritanya) langsung: "Saudara kita ditindas!!!" Konon katanya cuma orang Amerika yang ignorant, tapi ternyata orang Indonesia juga. Berita ini bahkan tidak masuk national news apapun di Amerika, yang berarti tindakan pramugari tersebut dianggap oke dan tidak ada diskriminasi yang terjadi. Saya tahu karena saya selalu memantau berita. I am a news junkie. Diskriminasi sekecil apapun selalu menjadi berita disini, dan kalau memang benar hal tersebut 'separah' yang diceritakan wanita ini, pastinya media nasional langsung menerkam berita ini karena menjual. Bukankah penembakan di Chapel Hill menjadi berita karena korbannya muslim yang berjilbab? Bila sampai tidak ada di national news berarti memang kejadiannya tidak sebombastis isi berita tersebut karena kantor berita disini tidak bisa sembarangan menerbitkan berita agar tidak dituduh mencemarkan nama baik.

Ketidakpedulian juga menyebabkan orang Indonesia menjadi makanan empuk untuk clickbait/penyebar berita bombastis begini. Pernahkah anda dengar soal acara Good Muslim and Bad Muslim? Tidak pernah kan, karena hal ini tidak menjual dan tambah lagi komediannya lumayan liberal. Padahal mereka mencoba menjernihkan nama Islam, dan cara mereka mungkin lebih baik daripada sekedar sharing berita dan bilang "Kita ditindas!!". Kalau memang anda khawatir, anda tinggal pantau terus berita dari Amerika kok. Pilih berita dari sumber yang terpercaya karena mereka harus menyajikan fakta, dan jangan malah mandek di artikel kecil-kecil yang mungkin tidak lengkap beritanya dan tidak ada cek dan riceknya. Tanya-tanya pada orang yang tinggal di luar negeri (baca: Amerika) apa iya muslim ditindas, segampang tanya ke orang yang tinggal di Bali apa iya dilarang pakai jilbab di Bali. Teman Indonesia saya yang berjilbab disini bisa mendapat gaji dua kali lipat daripada gaji saya lho, plus asuransi kesehatan dan berbagai hal menyenangkan lainnya karena dia memang kompeten. Kalau berjilbab sama dengan ditindas tentunya dia tidak bisa mendapatkan hal itu bukan? Riset sedikit tentang hukum diskriminasi di Amerika, dan coba mengerti bedanya di-diskriminasi, di-harrassed, dan tersinggung gara-gara orang lain menggunakan hak free speech mereka. Bedakan antara ditindas karena agama vs dianggap berbeda maka diperlakukan berbeda. Coba mengerti bahwa walau mungkin anda merasa anda berhak untuk memeluk agama anda, orang lain juga berhak untuk berpendapat berbeda.

Tapi itu semua butuh waktu. Lebih gampang untuk klik like dan share dan komen bahwa anda mendukung saudara seagama anda. Padahal wanita itu marah karena ia merasa tidak dianggap sebagai orang Amerika dengan jilbabnya, bukan karena ia dilarang memakai jilbab. Bukan karena "This is America, don't use your Hijab" tapi karena "You are not American because you are using a Hijab". Lebih gampang untuk marah dan berteriak "Diskriminasi!" daripada melihat kedalam diri kita sendiri yang mengernyit jijik saat melihat pelacur di malam hari atau abang-abang mikrolet yang tidur di dalam kendaraannya. Lebih gampang untuk menshare dan menginginkan dunia tahu bahwa telah terjadi ketidakadilan walaupun dengan tangan dan media sosial yang sama anda melakukan ketidakadilan dengan menshare himbauan untuk tidak terlibat dengan kaum kafir, yang notabene diskriminasi juga. Lebih gampang untuk melihat dunia dari mata seorang martir yang selalu dizholimi dan tertindas daripada berusaha melihat sisi lain dari sebuah masalah.

Mau bagaimana lagi? Ini pilihan anda. Anda bisa mencari tahu, mengerti, dan menerima (yang akan berujung pada kedamaian); tapi anda memilih untuk berkeras melihat yang buruk dan merasa tertindas. Selamat ya, hidup di neraka dunia.

FYI, semua manusia pada dasarnya tertindas. Semua manusia pada dasarnya merasa dirinya yang paling benar. Semua manusia pada dasarnya egois. Kuatnya payung hukum di Amerika membuka mata saya bahwa tiap orang berhak berpendapat dan pendapat mereka sama nilainya. Anda menganggap agama anda paling baik? Orang lain berhak berpendapat bahwa diet vegan gluten free adalah yang paling baik. Atau mengadopsi dan memiliki anjing peliharaan adalah yang paling baik. Setiap orang di Amerika berhak memiliki pendapatnya masing-masing, dan mereka sangat menghargai pendapat pribadi mereka. Anda boleh berpikir agama tidak bisa disamakan dengan jenis diet, tapi pencinta diet juga akan berpikir hal yang sama tentang agama anda walau dengan alasan yang berbeda. Blasphemy kata anda, penghinaan terhadap agama menurut anda, tapi fair is fair. Anda tentunya tidak berharap anda diistimewakan karena agama anda bukan? Karena bila ya, itu sebenarnya bentuk diskriminasi. Kalau anda melihat video wanita tersebut dan merasa marah dan berkata 'mereka tidak berhak melakukan itu terhadap wanita tersebut!', tolong diingat bahwa anda juga tidak berhak melakukan diskriminasi dengan menganggap anda lebih tinggi dari orang lain. Yang fair sajalah.

Monday, February 16, 2015

Penembakan di Chapel Hill: Mengapa ini Bukan Terorisme

Desember lalu saya membaca artikel yang ditulis seorang ibu yang berkeras bahwa teman sekolah anaknya tidak datang ke pesta ulang tahun anaknya karena anaknya autis. Tulisan itu dengan cepat menarik banyak komentator, yang hampir semuanya sinis terhadap ibu itu. Bukan apa-apa, seperti yang dikatakan berbagai komentator: anak mereka yang normal saja kadang-kadang tidak diundang atau tidak ada yang datang ke pesta mereka. Saya manggut-manggut setuju. Jangan sensi sendiri gitu deh. 

Di Amerika sini, perilaku 'Elu harus respect sama gue!' ini lumayan marak dan menyebalkan. Kasus Michael Brown misalnya, dimana anak muda kulit hitam ini ditembak mati polisi. Ini akhirnya menyebabkan kerusuhan di kota Ferguson dan demonstrasi besar-besaran di berbagai kota. Ceritanya menolak kekerasan yang dilakukan polisi, padahal si Mike Brown ini sebelumnya merampok toko lalu menyerang polisi. Begitu pula saat seorang remaja perempuan ditembak mati polisi, padahal dia mencuri mobil dan berusaha melindas polisi. Buat saya yang orang Indonesia dengan akal (lumayan) sehat, menyerang polisi yang punya pistol itu begonya ndalilah sekali, apalagi polisi disini sudah sangat stres dan parno karena hampir setiap orang disini punya pistol. Tapi para demonstrator disini nggak perduli, yang mereka perduli kaum mereka (kulit hitam, hispanik) terbunuh oleh polisi (kulit putih). Nggak masuk akal kan?

Saya setuju sekali dengan tulisan di fesbuk: Agama/keyakinan itu seperti penis, anda bisa punya satu dan saya tidak akan peduli, tapi akan jadi masalah kalau anda ngotot memaksakannya di depan muka saya. Masalahnya sekarang adalah victim mentality, yang ngerasa dibully dan dianiaya/dizholimi karena pilihan/kondisi hidup yang mereka punyai. Gay/transgender yang teriak-teriak tidak adil padahal mereka sendiri yang ganggu, kelompok minoritas yang koar-koar dizholimi padahal mereka yang berulah, dan ibu-ibu yang menuduh orang takut terhadap anak autis mereka padahal sudah biasa anak-anak saling cuek-cuekan. Mereka adalah contoh victim mentality, yang kalau disenggol dikit langsung: Oh ini pasti karena gue gay/lesbian/transeksual/kulit hitam/hispanik/anak dengan down syndrome/anak autis/etc. Padahal hidup memang penuh senggol menyenggol, dan anda tidak bisa mendapatkan 'free pass' bebas senggol hanya karena kepercayaan hidup anda.

Victim mentality ini terulang kembali dengan berita di soal penembakan di Chapel Hill. Hal yang paling pertama saya baca adalah postingan teman saya yang bilang "Kenapa ini tidak ada yang meliuput/tidak masuk berita??" Padahal penembakan ini masuk berita nasional di Amerika sini, dan anda bisa baca liputannya di NBC atau Yahoo misalnya. Berikutnya muncul postingan-postingan kenapa ini tidak dianggap perbuatan teroris, atau membandingkan penembakan ini dengan pembunuhan di kantor Charlie Hebdo dan menuduh media berat sebelah dan tidak melakukan pemberitaan yang adil terhadap kaum muslim. Bahkan kakak perempuan korban pun berkata bahwa media tidak seharusnya berusaha mengaburkan fakta dan bilang bahwa mereka dibunuh karena rebutan tempat parkir.

Sekarang saya minta kesabaran dan kelapangan pikiran anda untuk mencerna jawaban saya, untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi dari sudut pandang orang Amerika.

1. Gun violence/gun related-death di Amerika sangat-sangat tinggi. Tiap hari saya membaca setidaknya satu kasus baru di berita online yang berkaitan dengan senjata api. Seringkali tragis, seperti seorang ibu yang mati di supermarket karena anaknya yang berusia dua tahun merogoh tas ibunya dan tidak sengaja menembakkan pistol yang ada didalam tas tersebut. Seringkali konyol, seperti seorang wanita di Las Vegas yang terlibat pertengkaran di jalan raya dengan pengendara mobil lainnya, lalu ia ditembak oleh orang yang berantem dengannya. Saya selalu berasumsi semua orang punya pistol disini, dan saya tidak pernah merasa aman. Senjata api dan ketidakpedean/ insecurity bukanlah paduan yang baik, karena banyak orang yang jadi gatal ingin menembak orang lain tanpa alasan yang kuat hanya untuk membuktikan kalau "I'm the tough guy!". Jadi kalau dibilang pembunuhan Chapel Hill dikarenakan masalah dengan lahan parkir, saya percaya-percaya saja. Banyak pembunuhan disini dikarenakan masalah yang lebih sepele lagi kok. 

2. Kalau anda google, terorisme didefinisikan sebagai "The use of violence and intimidation in the pursuit of political aims". Penjelasan di Wikipedia dan website FBI juga menggarisbawahi satu hal penting dalam terorisme: aksi intimidasi untuk mengubah persepsi masyarakat. Klop dengan kata dasar dari terorisme, yaitu teror. Apakah pembunuh berseri seperti Robot Gedek teroris? Jelas tidak, karena dia tidak berusaha mengintimidasi masyarakat. Apakah penembak kantor Charlie Hebdo teroris? Iya karena ia/mereka memiliki agenda politik dibalik kekerasan yang mereka lakukan. Penembak di Copenhagen dianggap tersangka teroris karena mereka memiliki agenda politik. Tapi penembak di Sandy Hook yang menewaskan 26 orang (dan kebanyakan diantaranya anak kecil) tidak dianggap terorisme karena tidak memiliki agenda politik. Kalau penembak Chapel Hill nantinya terbukti bahwa ia melakukan hal tersebut karena memiliki agenda politik dan akan melakukan lebih banyak tindak kekerasan/teror di kemudian hari, ia pun bisa dan akan dianggap teroris. Saat ini tidak ada bukti bahwa ia melakukan penembakan tersebut karena ia memiliki agenda politik, dan tidak ada bukti ia akan meneruskan aksi teror tersebut, maka dari itu ia belum bisa dianggap teroris.

3. Seringkali yang jadi masalah adalah ketidaktahuan akan seseorang, dan bukan karena agama yang dianut. Saya sampai sekarang masih dapat pandangan merendahkan kalau saya mengungkapkan pandangan saya yang berbeda dengan mainstream orang Amerika pada umumnya, atau kalau saya kebetulan salah menggunakan tata bahasa saat berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Ibaratnya sedikit salah saja saya sudah dicap "Dasar imigran." Adilkah? Jelas tidak. Banyak orang Amerika lain yang juga berbeda pendapat kok, dan jelas lebih banyak lagi yang bahkan tidak becus mengeja kata-kata tanpa autocorrect. Tapi mau bagaimana lagi, saya memang berbeda dengan mereka. Mereka tidak nyaman dengan saya bukan karena agama atau ras saya, tapi karena saya berbeda dengan mereka. Pengalaman ini saya rasakan bukan cuma di Amerika ya. Waktu saya pindah dari Jakarta ke Bali saya pun merasa tidak masuk dengan orang-orang Bali, yang mana adalah suku saya sendiri. Saya tidak bisa berbahasa Bali dan tidak mengerti dengan jelas adat-istiadat dan aturan-aturan yang berlaku. Sampai saat ini pun saya masih merasa sebagai outsider saat pulang kampung. Muslim, apalagi yang terlihat jelas keturunan Arab dan/atau berjilbab pastinya mengalami diskriminasi di negara barat, tapi ini bukan karena agama/kepercayaan mereka, melainkan karena mereka berbeda dengan kebanyakan orang Amerika disini. Sebaliknya, suami saya yang kulit putih baik-baik saja saat berada di kawasan mayoritas kulit putih, tapi begitu di kawasan yang mayoritas kulit hitam langsung deg-degan nggak karuan. Beli sate di Indonesia pun dari yang biasanya Rp 15,000 bisa mendadak dicharge Rp 25,000 cuma karena kinclongnya. Kalau anda terlihat berbeda dari orang-orang disekitar anda, bersiaplah diperlakukan berbeda.


Bagi saya berita tentang penembakan di Chapel Hill tidak adil. Tidak adil karena headlinenya selalu menulis "Three Muslims". Ketiga korban ini bukan hanya korban pembunuhan, melainkan juga korban media. Begitu banyak kasus pembunuhan lainnya di Amerika namun kasus ini mendapat sorotan karena yang tewas adalah muslim dan mengenakan atribut muslim. Apakah kalau mereka bukan muslim maka kasus ini tidak akan diliput? Seolah semua kemanusiaan si korban hilang dan digantikan dengan label "Three Muslims". Cuma ini 'nilai' mereka di mata media, 'Three Muslims' karena ini yang menjual. Persetan Deah ingin pergi ke Syria untuk membantu pengungsi disana atau segenap perbuatan baik yang mereka lakukan, mereka telah direduksi menjadi hanya 'Three Muslims', dan kita di Indonesia turut mereduksi nilai mereka. 

Ada yang bilang kalau tidak adil bahwa saat ada aksi kekerasan yang mengatasnamakan Islam maka seluruh umat Islam harus meminta maaf dan berseru menentangnya, sementara saat ada kasus seperti ini langsung dianggap cuma orang gila. Sekali lagi, perbedaannya ada di agenda politik mereka. Yang membunuh/melakukan tindak kekerasan karena emosi dan ketidak sukaan pribadi tanpa didasari agenda kedepannya ya memang gila bukan? Kalau tidak mau bersuara (dan sebenarnya Indonesia juga lumayan diam) ya tidak apa-apa. Tapi jangan marah kalau Islam tetap dianggap buruk. Daripada sibuk bilang "ISIS bikinan Amerika" atau "Dunia tidak adil terhadap Islam", bagaimana kalau muslim Indonesia yang mayoritas menunjukkan betapa damai dan indahnya Islam tersebut. You can catch more flies with honey. Kalau masih merasa tidak adil, marahlah pada ISIS dan Boko Haram dan para pengebom di Pakistan atau Afghanistan dan bahkan FPI yang membuat nama Islam menjadi jelek. Stop this victim mentality.

Kalau sampai sejauh ini anda membaca namun masih berkeras bahwa dunia (baca: Amerika) berlaku tidak adil terhadap Muslim, tolong diingat bahwa di Indonesia setiap tahunnya beredar ajakan/himbauan untuk tidak mengucapkan selamat Natal atau Imlek, dan hal-hal yang berbau non-Islam seperti baju adat Bali dan atribut Santa Klaus dan sebangsanya dianggap berbahaya dan tidak pantas, bahkan pemakaian jilboobs pun dijadikan sorotan. Anda bilang itu tidak sesuai dengan agama anda, tapi dengan anda terus memposting dan bilang "Mereka kafir!!" apa iya orang yang membaca jadi tidak sakit hati? Bahkan seorang ustad terkenal pun berkata bahwa yang sakit hati kalau dibilang kafir sebenarnya tahu bahwa menjadi kafir itu salah. Padahal semua orang juga sakit hati kalau dianggap jelek (dan kafir konotasinya jelek) tanpa alasan yang jelas. Perlakuan ini sama seperti perlakuan orang Amerika sini terhadap imigran (termasuk keturunan Arab dan pemakai Jilbab) yang alasannya juga sama: "They are not us". Anda boleh bilang semua postingan anda sesuai dengan agama yang anda anut dan anda punya hak untuk menegakkan ajaran agama anda, orang sini pun bilang ketidaksukaan mereka terhadap Muslim (baca: pendatang/imigran) sesuai dengan kepercayaan mereka yang tidak suka hal-hal yang bukan Amerika dan mereka punya hak untuk mempertahankan ke-Amerika-an anda. Bedanya cuma fobia pendatang itu normal, apalagi kalau penampilannya beda sekali dengan orang lokal; sementara di Indonesia yang diajak berantem saudara sendiri: ras Cina dan non-muslim yang sudah ada di bumi Nusantara sebelum namanya Indonesia. Konyol kan?

Sunday, February 15, 2015

Valentine yang Kusayang, Valentine yang Kubenci

Seperti biasa, media sosial di Indonesia riuh dengan pesan-pesan anti Hari Valentine menjelang tanggal 'keramat' 14 Februari. Walau biasanya saya sebal sendiri dengan pesan-pesan anti hari tertentu seperti Anti Hari Kartini, Anti (mengucapkan selamat) Natal, Anti Tahun Baru dan sebagainya yang konon tidak Indonesia atau tidak sesuai dengan ajaran agama tertentu, entah kenapa saya lumayan setuju dengan pesan Anti Valentine.

Bingung kan, kenapa saya yang biasanya romantis justru tidak suka dengan hari yang (konon) paling romantis sedunia. Sama halnya kenapa saya tidak nafsu pergi ke Paris yang konon kota cinta, atau candlelight dinner untuk merayakan sesuatu: terlalu komersil. Begitu masuk bulan Februari langsung deh semua mendadak jadi 'merah' dan 'pink' yang menyakitkan mata, mulai dari baju yang dipakai saat kencan sampai katalog/iklan supermarket pun mendadak dipenuhi bentuk 'Lope-lope'. Pertama-tama apa iya 'warna cinta' itu harus merah dan pink? Memang tidak bisa gitu biru muda atau hijau cerah? Yang adem gitu lho. Belum lagi harga bunga coklat dan sebagainya yang mendadak jadi lebih mahal. Jangan ditanya soal modal kencan Valentin, yang entah kenapa memandatkan (paling tidak disini) kencan istimewa lengkap dengan candlelight dinner wine etc, dan bahkan di Indonesia pun tempat makan yang 'agak' oke seperti gerai pizza dan sebagainya dibanjiri pengunjung.

Dan itu yang sebenarnya alasan utama bikin saya eneg saat Valentine: semua orang mendadak membutuhkan 'pengakuan'. Yang dikencani merasa butuh pengakuan dengan 'menghitung' apa saja yang diberikan sama si do'i, yang mengencani merasa butuh pengakuan dengan memberikan semaksimal mungkin. Tapi sudah sejauh itu pun, saat melihat pasangan lain yang kebetulan lebih mampu untuk memberikan atau diberikan lebih banyak, langsung deh hati jeblok tak terkira. Ujung-ujungnya hari Valentine yang harusnya penuh cinta malah menjadi beban moral tak terkira. Beban dompet juga, karena barang-barang wajib Valentine bukan barang asli Indonesia. Kenapa harus mawar Holland juga? Emang nggak bisa pakai mawar untuk nyekar yang juga lebih wangi? Atau melati dan sedap malam gitu. Terus kenapa coklat? Kenapa nggak bisa wajik atau wingko babat atau brem sekalian? Dinner juga, bukannya lebih romantis makan pecel lele ya? Nggak ada yang lebih membuktikan kesanggupan seseorang untuk setia sama pasangan daripada makan pakai tangan. Bisa diajak susah gitu. Dan kalau makan pakai tangan saja bisa tetap terlihat cantik/cakep dan elegan, apalagi makan pakai sendok/garpu/pisau. Intinya, Valentin itu cuma trik jualan para pengusaha untuk mendapatkan uang lebih banyak, dan begonya kita juga mau saja termakan trik mereka dan menganggap jumlah uang yang kita keluarkan setara dengan cinta kita sama si do'i. 

Intinya, Valentin itu nggak perlu, nggak penting. Mau beli bunga, beli saja sendiri. Pasar bunga Cikini atau Tebet atau Rawabelong toh nggak cuma buka pas Valentine aja kan? Mau kue atau coklat? Semua minimarket jual kok, modal pita sedikit jadi deh spesial untuk si Dia. Candlelight dinner? PLN nyediain kok, saat mati lampu makan Indomie berdua pun bisa jadi spesial. Atau sengaja matikan lampu, beli ayam panggang dari supermarket atau bahkan dari warung tegal, tata dengan cantik diatas piring, jadi deh. Pengalaman saya jadi sales adalah, presentasi/penampilan itu segalanya. Biar makanan biasa saja tapi kalau ditata dengan cantik jadi deh serasa makan di restoran mahal. Nggak usah nunggu satu hari dalam setahun untuk menyatakan cinta, bukan? Dan jelas tidak perlu buang duit berlebihan cuma untuk menunjukkan cinta. Say no to ValDay lah pokoknya.

Lalu teman saya mengirimkan foto ini.


Saya tertampar. Yah, nggak selebay itu sih, tapi saya jadi lumayan tersadar. Teman saya cuma bisa bertemu pasangannya beberapa bulan dalam setahun karena pasangannya kerja di luar negeri, dan ini tumben-tumbennya mereka bisa bareng pas Valentin. Sudah begitu, teman saya juga romantically challenged alias tidak romantis. Valentin tahun ini adalah pertama kalinya dia punya foto Valentin mesra lengkap dengan kue berbentuk hati semenjak saya mengenal dia hampir tujuh tahun yang lalu. Dulu-dulu kadang saya suka kursusin, walau kadang diluar kemauan dia, cara-cara untuk jadi romantis. Melihat senyuman sumringah dia di foto ini membuat hati saya jadi bahagia. Kalau ada yang mendeskripsikan hari Valentine atawa Hari Kasih Sayang dengan demikian indahnya ya foto ini.

Kadang kita suka semena-mena menjudge orang. Kadang kita suka semena-mena memaksakan pendapat kita. Valentine itu buatan kapitalis. Valentine itu merusak moral. Valentine itu cuma buat orang-orang bodoh. Valentine itu cuma buat gaya-gayaan. Valentine itu produk kaum liberal. Yang pasang dan pamer foto Valentin pasti biasanya kurang kasih sayang di hari lainnya. Yang merayakan Valentin itu pokoknya 'Kasian deh loe!'. Tapi ada orang-orang yang butuh satu hari ini. Ada orang-orang yang penuh cinta tapi tidak tahu cara menyampaikannya atau tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Untuk orang-orang seperti inilah hari Valentin menjadi sangat bermakna, satu hari dimana mereka bisa mengungkapkan kasih sayang tanpa merasa aneh atau tidak nyaman. Apa hak kita untuk menilai bahwa mereka salah dan kita yang benar? Toh tidak ada yang memaksa kita untuk melaksanakan hari Valentin, apa salahnya dengan bersikap cuek dan menjalani hari seperti biasa tanpa membuat status-status anti Valentine?

Tanggal 14 Februari ini saya tidak menyiapkan kejutan apapun untuk si Akang tersayang. Hampir tiap akhir minggu kami menjelajah tiap sudut Los Angeles, dan kemampuan masak saya yang makin meningkat membuat menu makan malam kami hampir sekelas restoran. Hari Valentin tahun ini tidak sepenting tahun-tahun lalu, karena tahun ini kami benar-benar hidup dengan penuh cinta dan kedekatan. Namun sorenya saya menemukan paket Valentin yang ia beli besama anaknya saat saya pergi ke supermarket untuk beli bahan-bahan makan malam. Padahal saya selalu melihat paket-paket Valentin yang biasanya berisi mawar, boneka mungil, dan permen/coklat itu dengan penuh curiga; lebay banget menurut saya. Tapi saat paket tersebut berada dengan manisnya diatas meja makan dan anaknya sibuk berseru-seru dengan gembira: "Happy Valentine's Day, ibu!" rasanya hati (dan air mata) saya meleleh. This is love. The real love. Konteksnya memang hari Valentin, tapi intinya ya itu: my husband loves me. And it feels great to be loved. Selamat hari Valentin ya bagi yang merayakan :)

Monday, February 9, 2015

Will You Still Love Me Tomorrow


"Tonight you're mine completely
You give your love so sweetly
Tonight the light of love is in your eyes
But will you love me tomorrow?"

Our first date anniversary is coming up, and my head is buzzing with ideas and excitement on how I can properly commemorate it. Some people might not remember the exact date of the first date with their significant other. I still remember it with clarity though, it's not everyday that you fly all the way to another island 621 miles/1000 km away just to meet a stranger that you've only been chatting with for a mere couple of days. We met. Both of us were very happy. Both of us immediately fell in love with each other. Yet that night and the two nights afterwards as I cuddle with him I can't help thinking, "Will you still love me tomorrow?".

For the next two year the phrase stuck to me. I cherished all the times we met in person, which in total didn't even qualify for a full month out of the 18 months of our long distance relationship; yet each time I sleep next to him, each time I kissed him goodbye at the airport before his flight home I still asked that question to myself: "Will you still love me tomorrow?". I asked the same question to myself almost everyday during that period, as a matter of fact. There are too many things that can go wrong in normal relationship, let alone a long distance relationship. He could become too attached to his co-worker that he often lunched with. He could developed a sense of wanting for his friend that he sometimes hangs out with. He could decide that getting back to the mother of his son or the mother of his daughter (take a pick) is much reasonable for the sake of the kid. He could think that this long distance relationship, and my love, is just not worth the trouble. 

Even when I finally got my visa I still asked that question. Even when I was on the plane to US I still asked that question. Even when I got married I still asked that question. Even when I receive my green card I still asked that question. But then it stopped. Somewhere along the line, between our arguments and threats hurled in our anger, we decided that nothing will change. That when tomorrow comes we will still be there for each other. And then we fall into the comfort zone, letting ourselves to be absorbed by our day-to-day task and menial life problems without thinking whether one of us will still be there tomorrow. Of course we will still be together. Why shouldn't we? Like the engagement ring that was once so precious when we first got it, it became almost unnoticeable now that I am wearing it every day. Such is our love and appreciation towards each other that loses its glimmer now that we are so sure that we'll have each other forever.

This morning I was debating myself on whether or not I should write about this. Nobody wants to admit that their ideal and perfect relationship is in fact, not ideal and not perfect. I don't want people to think I and/or my husband are doing a poor job on keeping our relationship alive and well. But does the stagnancy really means that we are doing a poor job? Or is it a part of the nature? 

I am sure that this is something that everyone can relate to: when you first got your smartphone you were as protective as a mother hen with her only chick, you promised that you will protect it from any harm and swore you will forever love it and cherished it as the item that has bring you the most joy in life; fast forward three or four moths later it is battered and scratched and you look at the latest gadget in store with such envy and longing and thinking "why isn't my phone as cool as that?!". When I first move to my apartment in LA I was distressed with the fact that we do not have bath tub, and every time we went to Arizona and stayed at a place with bath tub I made sure that I soak myself at least 30 minutes in the blissful hot water. Now that it is somewhat established that I will definitely find a bath tub whenever we visit Arizona, I don't really care whether I even use the bath tub or not. We put emphasize on something that we think is precious, and we consider something precious when it is difficult to get or has high value to us that we might not get from other things. When it became the part of our daily life though, it started to lose its value and its worth. We started to take it for granted because we ignorantly think it will still be there tomorrow. Your phone. Your car. Your apartment. Your jewelry. Your DVD collection. Your job. Your friend. Your spouse.

I remember the sweet agony I felt when my husband and I were still in the long distance relationship. Every "I love you" counts. Every "You are special" holds their meaning. Every "Thank you love" worth the world to me. Today we kissed and we hugged each other before he went to work, but there was no sweet agony there or flutter of excitement mixed with nervousness. He will be home this afternoon, just like he did yesterday. And just like the other days. The same old routine that we repeat every day, living the life with the knowledge that he/I will be there tomorrow for the rest of our life. But will we? Life is full of uncertainty, and anytime our daily routine could be ripped apart. A sudden life-threatening situation, for instance, like accident or illness or nature's catastrophe. He/I could somehow meet our significant other, the real person that is meant for him/me, and decided that instant that he/I don't want to be together anymore. He/I could simply wake up in the morning and decided that the love is gone, just like one would wake up and decided he/she doesn't want to eat pancake ever again. And when that happened, when I don't have him or his love anymore tomorrow, or if I don't love him anymore, what would I do?

The question "Will you still love me tomorrow" is bittersweet because it showed that the questioner to (some degree) does not believe the person in question. And we all need trust in relationship, are we not? Yet at the same time, it is important to remember that nothing last forever. It is important to realize that what we have now can easily be gone the next day or even the next second, that we are in fact powerless to keep something forever. It keeps you on the edge and on guard, it keeps the precious stay precious. I listened to the song again and again as I wrote this article, and with every words The Shirelles sang I compiled a list of beautiful memory that I have with my husband and determined to cherish every last one, even the ones that might seemed menial and unimportant. Because even though I know he love me today, tomorrow there is a chance that he will (or can) not. At least that's how I choose to think.

"Is this a lasting treasure
Or just a moment's pleasure?
Can I believe the magic of your sighs?
Will you still love me tomorrow?"

Search This Blog