AdSense Page Ads

Wednesday, August 26, 2015

Diutamakan Selain Hindu: Cerita 'Diskriminasi' dari Bali

Sore-sore begini ketemu foto begini di Facebook saya. Rasanya jelas campur aduk: marah, malu, kesal, dan kelegaan bahwa saya tinggal jauh dari segala diskriminasi tidak beralasan ini. Tapi apa iya ini tidak beralasan?

Reaksi yang pertama timbul saat melihat foto ini pastinya cukup kuat. Yang fanatik agamanya (dan non-Hindu) pasti mengucap syukur tak terkira, yang kebetulan beragama Hindu pastinya misuh-misuh nggak karuan. Dan menurut komentar di foto tersebut mereka memang marah, menganggap disepelekan di tanah sendiri. Apa iya?

Di Amerika sini nggak ada itu ceritanya diskriminasi begini. Ada sih ada, tapi yang terang-terangan begini bisa dipidanakan. Kirim CV aja nggak nulis umur atau tanggal lahir kok, apalagi agama. Efeknya jelas, semua punya hak yang sama. Tapi juga pubya kewajiban yang sama. Dengan kata lain, nggak ada ceritanya kita bilang perusahaan nggak fair karena nggak ngasi libur Lebaran misalnya, atau libur Galungan. Disini libur sekolah akhir tahun saja disebutnya winter holiday dan bukan lagi Christmas Holiday kok. Agamamu ya agamamu, nggak ada urusannya minta libur diluar jatah libur kenegaraan untuk beribadah. Kalau mau ya ambil jatah cuti, dan kalau memang kondisi nggak memungkinkan ya nggak bisa cuti. That's life bro.

Balik ke Indonesia, orang bisa marah dan mengamuk kalau dirasa ibadahnya tidak diakomodir. Orang Islam yang harus kerja pas lebaran, orang Kristen yang harus kerja saat Natal, orang Hindu Bali yang harus bekerja saat Galungan (cuma di Bali lho, yang kebetulan di luar Bali mah cuma bisa gigit jari). Dulu kerja di Bali pun, bos saya sempat dengan spesifik minta HR saya untuk mencari karyawan yang non-Bali. Alasannya sederhana: biar saat hari raya Hindu Bali nggak semua karyawan libur, jadi perusahaan bisa tetap jalan. Masuk akal toh?

"Tapi itu kan hak kita beribadah!!" sergah beberapa dari anda. Gimana ya, ibadah itu relatif lho. Saya yang Hindu Bali tinggal di Jakarta jelas nggak mungkin minta 3 hari berturut-turut libur untuk merayakan Galungan. Kalaupun bisa berarti rekan kerja kita yang ketiban pulung. Sebaliknya, saat kantor tutup saat Lebaran pun saya yang nggak Lebaran jadi ikutan libur. Fair/adil? Jelas nggak. Tapi lebih nggak adil lagi kalau saya memaksa semua orang mengakomodir saya. Di Amerika sini nggak ada dikasi waktu Sholat seperti di Indonesia. Bukan karena benci Islam ya, tapi karena nggak adil buat yang non-Islam kalau yang Islam boleh pakai jam kerja untuk sholat sementara yang lain nggak dikasi waktu break tambahan yang sama.

Balik lagi ke pengumuman di foto itu. Semua yang Bali komennya marah dan emosi, padahal belum tentu juga agama Hindunya jalan. Kalau sembahyang ke Pura masih ngeberatin pemilihan baju/kebaya yang paling necis, kalau mulutnya masih sibuk menjilat dan mencerca dan sama sekali nggak ingat prinsip Tri Kaya Parisudha, kalau Nyepi cuma jadi alasan buat maceki/main kartu dan minum tuak seharian, nggak usah meledak saat dengar berita begini lah. Pemilihan katanya pun perlu dicermati: diutamakan selain Hindu. Bisa jadi seperti kantor saya dulu yang memerlukan pegawai dari berbagai agama agar perusahaannya bisa tetap jalan walau libur apapun dan bukannya benci agama tertentu. Kalau dibilang diutamakan non-Bali barulah berhak marah, karena ras nggak ada urusannya dengan pekerjaan.

Intinya nggak usah sensi. Nggak usah parno dan berseru orang Bali dijajah di negeri sendiri. Suka atau tidak, orang Bali memang harus bekerja keras untuk mengembalikan citra mereka (baca: kita). Sekian lama kita dimanja oleh manisnya pariwisata, dari semenjak jaman Belanda lho. Konsep 'duit gampang' itu yang harus dihilangkan, dan sebaliknya mulai bersikap profesional. Bukan berarti lantas meninggalkan kewajiban beribadah lho ya. Indahnya Bali ya segala upacara itu yang mana masyarakat Hindu Bali adalah bagian di dalamnya. Kalau nggak ada segala upacara itu apa lebihnya Bali? Sekalian aja ke Thailand. Profesional disini berarti meyakinkan si bos bahwa kerjaan bisa tetap kelar walau ada hari raya. Apalagi kalau kerjanya di tempat yang tidak terikat hari raya seperti hotel atau spa. Walau demikian, perusahaan di Bali yang saya tahu kebanyakan sudah 'menyerah' dan beradaptasi dengan BAnyak LIburnya Bali. Kompensasinya Lebaran nggak libur panjang hihihi.

Profesional juga berarti ya itu, nggak manja. Nggak berpikir bahwa anda-anda berhak dibayar dengan tinggi karena sebelumnya bule membayar anda tinggi. Entah berapa banyak sopir dan pembantu yang diinterview teman saya di HR yang dengan konyolnya minta gaji tinggi atau bahkan menolak kerja saat tahu bosnya bukan bule. Orang luar Bali juga banyak yang konyol begini ya, tapi yang lahir besar di Bali jelas lebih terdidik (baca: brainwash) bahwa bule sama dengan uang, dan kerja asal juga tetap dibayar. Saya kawin sama bule and we're still broke as shit lol. Happy, tapi nggak berlimpah harta seperti yang dibayangkan orang saat saya bilang suami saya bule. Harga nasi goreng disini $ 8 bo'. Indomie 50 cent. Kita kaya cuma pas balik ke Indonesia aja, bisa foya-foya makan soto ayam seharga parkir 30 menit disini hahaha. Eh, kok ngelantur.

Alasan lain kenapa orang Bali nggak 'laku' juga karena kurangnya kompetensi. Di Jakarta semua orang berbondong-bondong ikut LIA demi secarik ijazah yang membuktikan bisa berbahasa Inggris. Les-les penuh sesak dan semua orang berlomba untuk bisa komputer demi mendapatkan pekerjaan yang layak. Di Bali animo masyarakatnya nggak setinggi itu. Kalau saya punya usaha di Bali dan disuruh memilih antara karyawan luar Bali yang lancar MS Office dan karyawan Bali yang alamat e-mailnya masih memakai alamat e-mail pacarnya, jelas saya pilih yang becus kerja. Belum lagi sakit kepala menghadapi sesama orang Bali yang menuduh tugas-tugas yang diberikan kepada mereka adalah tindakan sok kuasa saya karena saya Dayu. Mau nama saya Bejo juga kalau itu tugas mereka ya harus mereka kerjakan. 

Apakah semua orang Bali seperti itu? Jelas tidak. Makin banyak orang-orang Bali yang sadar bahwa we are not alone. Bahwa dunia nggak cuma selebar pulau Bali saja. Bahwa kita orang Bali mampu menunjukkan kompetensi kita tanpa mengorbankan jati diri dan adat istiadat kita. Suatu saat nanti, kata-kata 'Diutamakan non-Hindu' tidak perlu lagi dipakai dalam lowongan pekerjaan karena kita mampu menciptakan sistem dimana profesionalisme tetap jalan dan adat istiadat tetap oke. Sekarang tergantung kitanya bukan? Salam!!!

Ps: sebagai perbandingan tambahan, kalau tempat pemotongan hewan buka lowongan pekerjaan dengan syarat 'Diutamakan Non-Muslim' karena mereka juga memotong babi masuk akal toh? Atau pengacara perceraian mencari pegawai yang non-Katolik karena di Katolik tidak boleh bercerai. Yeah, they are stupid examples, tapi semoga anda bisa mengerti bahwa terkadang 'diskriminasi' itu bisa terjadi bukan karena anti agama tertentu, melainkan karena sifat pekerjaannya. Anda yang kurang tinggi atau kurang menarik sulit diterima jadi pramugari/pramugara misalnya, atau anda yang buta warna jelas tidak bisa masuk FK. Jadi jangan pada cepat emosi ya... :-) 

2 comments:

  1. mungkin kalimatnya aja yg kurang pas, bila "Diutamakan yang bisa bekerja pada hari raya keagamaan " bagaimana?

    ReplyDelete
  2. Tulisannya sangat inspiratif, menggugah untuk instropeksi diri.

    ReplyDelete

Search This Blog