AdSense Page Ads

Wednesday, February 17, 2016

#MasihSoalJoey

Baca komen di foto Joey sama Johnny Depp bikin saya emosi. "Makanya Joey harus pindah kewarganegaraan biar bisa berkembang karena disini nggak dihargai." "Beginilah pemerintah kita yang nggak menghargai anak bangsa." Please deh, mental terjajah banget. Kalau pada lari semua lalu siapa yang mengembangkan Indonesia, siapa yang membuat Indonesia menjadi lebih baik?

Apa dipikir di luar negeri lebih baik? Disini banyak juga kok orang yang menyeberang jalan sembarangan. Banyak juga gelandangan yang harus tidur di jalanan. Korupsi juga marak, cuma namanya bukan korupsi tapi lobbying. Makanya biar ada entah berapa kali mass shooting disini penjualan senjata api tetap laris manis, karena koalisi pengguna (baca:penjual) senpi terus melobi kongres untuk tidak membatasi kepemilikan senpi. Hampir semua disini hasil lobi-lobi penguasa.

Sisanya? Pribadi lah. Dorothy Chandler Pavillion (gedung opera), Ahmanson Theatre, Walt Disney Concert Hall, Mark S. Taper Auditorium, semua gedung-gedung ini dinamai sesuai nama donornya. Saya bisa nonton dengan tiket diskonan juga karena adanya donasi dari orang kaya-orang kaya ini. Nggak harus kaya juga, kadang donasi $15 atau $25 sudah cukup. Berapapun sebenarnya mereka terima. Beasiswa-beasiswa pun kebanyakan dari lembaga pribadi, bukan pemerintah.

Orang-orang kaya disini memiliki vision. Jadi kaya itu tidak cukup, mereka juga ingin dikenal, ingin diingat. Charity atau derma adalah jalan yang paling umum ditempuh. Dan juga paling menghasilkan ya. Nama perusahaan terangkat dan dikenal kalau perusahaan atau owner perusahaan mendermakan gedung atau beasiswa. Atau mendanai "Free Day" di museum yang biasanya bayar. Iklan gratis bo'. Tapi bukan hanya itu, mereka juga ingin membagi apa yang mereka punyai, membuat dunia jadi lebih baik istilahnya. Ini vision mereka.

Buat kita di Indonesia berderma cuma saat bulan puasa saja. Kita menyebutnya Zakat atau Sedekah. Disini crowdfunding/meminta dana dari masyarakat luas sudah biasa. Wikipedia minta dana, Mozilla Firefox juga. Berbagai lembaga kemanusiaan, bahkan capres pun ikutan crowdfunding. Makanya situs-situs crowdfunding untuk pencipta/pekarya model Kickstarter dan Indiegogo laris manis, bahkan GoFundMe yang cuma untuk mendanai diri sendiri (pindah rumah, beli mobil baru etc).

Ainun Najib dan para aktivis pengkode Indonesia sudah menunjukkan bahwa sangat memungkinkan bangsa Indonesia untuk berkarya. Pertanyaannya apakah kita siap? Relakah kita men'derma'kan 20-30rb untuk membantu pekarya yang ingin meluncurkan karyanya? Relakah kita mendanai 20-30rb untuk pemusik yang ingin belajar? Relakah kita membayar 200-300rb untuk barang inovasi yang baru akan diproduksi kalau dananya terkumpul? Kemungkinan nggak ya. Boro-boro barang, kadang beli rumah atau tanah kavling oleh developer saja tidak jelas hasilnya. Ketidakpastian hukum membuat kita cepat curiga dan malas membantu orang lain.

Tapi pola pikir juga berperan penting. Kita terbiasa membantu orang yang kesusahan, yang nasibnya lebih kurang beruntung daripada kita. Padahal orang yang lebih beruntung atau setidaknya sama seperti kita pun kadang-kadang buntung juga, kadang-kadang butuh bantuan juga. Kita juga belum terbiasa mengerti passion, gairah. Di tatanan sosial masyarakat Indonesia yang masih kolot, segala sesuatu harus sebagaimana adanya, harus sesuai jalannya: belajar yang tekun, cari pekerjaan yang benar, berkeluarga dengan jodoh yang baik pula. Bila Joey dibesarkan di dalam keluarga biasa saja di Indonesia, kendala utamanya bukanlah keterbatasan sarana dan prasarana belajar. Kendala utamanya adalah tekanan dari pihak keluarga yang berkata, "Ngapain sih aneh-aneh? Belajar saja yang benar sana." atau "Aduh buat apa sih Ibu ngasi dia belajar musik, buang-buang duit aja. Ntar juga nggak menghasilkan."

Pahit ya. Kalau ada teman atau kita sendiri lahiran kita biasa bilangnya "Semoga menjadi anak sholeh dan berbakti kepada orang tua". Kita nggak berpikir tentang kebahagiaannya. Padahal manusia itu perlu passion, perlu reason to live, kalau nggak mereka cuma zombie belaka yang nggak sepenuhnya memaknai hidup. Ada yang passionnya agama, ada yang passionnya musik atau olahraga, ada pula yang seperti saya yang passionnya membuat dunia jadi lebih baik untuk ditinggali. Tapi walau terlihat keren dan kita kagumi, berapa banyak dari kita yang rela menginvestasikan uang dan waktu untuk diri sendiri atau orang tersayang demi mereka menjalankan passion mereka? Jadi aktivis yang nggak punya duit, jadi film maker yang melarat, jadi penulis yang nggak bisa makan, jadi olahragawan yang miskin. Padahal untuk mencapai kesempurnaan butuh investasi, no pain no gain. Nggak bisa anda menolak berinvestasi lalu dengan lantang berkata: "Dasar Indonesia nggak pedulian!!"

Indonesia bukan terdiri dari Pemerintah dan Rakyat, Indonesia terdiri dari anda-anda dan saya-saya yang terlepas dari jabatan kita tetaplah rakyat Indonesia. Anda dan saya bertanggung jawab atas bakat-bakat yang ada di Indonesia. 70 tahun sudah kita merdeka, sudah saatnya kita belajar bersatu sebagai sebuah bangsa dan bukannya malah menistakan "Dasar Indonesia!" tanpa melakukan perbaikan yang berarti. Perubahan pola pikir harus dimulai dari kita sendiri. Lepaskan pemikiran feodalisme yang mengkotak-kotakkan kita dan belajar menerima orang lain apa adanya, terlepas dari suku, agama, ras, status sosial, dan berbagai atribut duniawi lainnya. Belajarlah menerima perbedaan dan menghargai orang lain. Dan baca. Banyak membacalah. Berita luar negeri, pengarang luar negeri, lihatlah apa yang terjadi di luar sana dan selami pikiran yang berbeda dari pikiran anda.

Saat saya pindah ke Amerika saya memutuskan untuk tidak berganti kewarganegaraan, walau itu memungkinkan. Saya orang Indonesia baik di hati, di paspor, maupun di ktp. Dan saya percaya Indonesia memiliki potensi untuk menjadi bangsa yang berpengaruh di dunia dengan orang-orang yang hebat pula. Percaya deh, itu mungkin. Saatnya kita beranjak maju dan meraih nasib kita, dan bukannya mencaci kalah "Dasar Indonesia!!!". Selamat pagi dari Los Angeles :) .

No comments:

Post a Comment

Search This Blog