AdSense Page Ads

Tuesday, March 29, 2016

#Pengen

#pengen

Pagi ini dibuka dengan mencari set buku A Song of Ice and Fire A.K.A Game of Thrones. Saya nggak nonton serinya, tapi akhirnya kepincut baca bukunya karena kebetulan bisa pinjam e-book gratis di perpus kota Los Angeles. Satu hal yang membuat saya bertahan di Amerika, apapun yang terjadi, itu adalah perpustakaannya dan kemudahan meminjam buku via aplikasinya (gojek mana gojek huhuhu). Tapi tetap ya, namanya manusia, sudah bisa pinjam dan perpanjang gratis tapi tetap banyak maunya. Kali ini ingin punya sendiri, biar ga makan ati kalau pas lagi seru-serunya masa peminjaman habis dan nggak bisa diperpanjang. Dari mencari e-book, mendadak ketemu paperback book set, lalu ketemu leather bound book set. Saya jatuh cinta sama yang terakhir.

Saya pernah bilang ke teman saya: Cinta itu pakai perasaan, Relationship itu pakai perhitungan. Saya cinta buku leather bound ini, tapi apa iya saya siap menjalin relationship dengannya? Ini ibarat punya pasangan yang penampilannya keren tapi high maintenance, atau rumah di gang tapi punya mobil dua. Yang paperback bisa dibawa kemana-mana, rusak juga nggak terlalu sakit hati; dan saat dua buku yang lain keluar, bisa gampang beli untuk nyamain bukunya. Kalau beli yang leather bound, saat dua buku lagi keluar bisa-bisa covernya ga nyambung dan malah jadi jelek penampilannya di rak buku. Jangan ditanya kalau kebetulan rusak, nggak akan dapat gantinya. Dan lagi, don't judge a book by its cover bukan? Kalo isinya sama, buat apa juga beli yang mahalan cuma karena penampilannya lebih menarik?

Tapi saya pengen. Saya mau. Saya ingin punya.

-Baju saya semua harganya dibawah $10
-Budget makan cuma $20 per minggu
-Makan di luar pun paling mahal cuma $20-25
-Nggak pernah massage manicure dsb
-Nggak pernah ke bar atau hura-hura

Jadi boleh dong saya beli buku harganya $37. 

Barang paling mahal yang pernah saya beli untuk diri saya sendiri itu cuma tas bermerk $70, barang seken pula. Saya kan anak baik, boleh dong kasi hadiah untuk diri saya sendiri. Intinya otak saya mengalami pressure luar biasa dari hati saya yang terus membujuk mengancam membombardir saya untuk melakukan pembelian segera.

Apa saya perlu yang leather bound? Sebenarnya nggak dan kalau ada paperback yang beda harganya bisa setengahnya atau lebih nggak akan saya toleh yang leather bound itu. Bekas juga gpp asal kondisi terawat. Tapi ini beda harganya cuma $8. Masih affordable. Dan itulah sebenarnya sumber masalah saya: affordable/masih kebeli. Saat di Indonesia yang gaji Indonesia mana kebeli buku Rp 400,000. Bagus kalo cuma segitu, biasanya kehantam pajak dan melambung harganya. Disini $37 itu kurleb gaji setengah hari kerja, jadi masih masuk akal. Makanya hasrat tak tertahan, karena mampu.

Kebanyakan dari kita berpikir kalau godaan itu datang dari luar, padahal godaan yang sebenarnya datang dari diri kita sendiri: ego kita, keserakahan kita. Antara beli mobil biasa dengan yang agak bagus misalnya. Atau selingkuh dan tidak selingkuh. Kalau perbedaan pilihannya jauh banget, mungkin nggak jadi masalah karena nggak mampu. Nggak mungkin dong dari budget Avanza maksain beli BMW, atau posisi admin mau selingkuhin si bos besar yang super hot. Tapi kalau "cuma" sedikit bedanya, lain cerita. Avanza baru vs BMW seken versi lama yang bedanya cuma 1 tahun cicilan, atau flirting/genit-genitan dengan sesama rekan admin yang kebetulan menyambut pdkt anda. Toh nggak parah, toh risk free. Dan pertanyaan "Do we need it?" atau bahkan "Should we even do it?" tiba-tiba tidak lagi relevan karena ego dan keserakahan sudah bersabda.

Ini sebenarnya mainan marketing banget. Seperti kombo-kombonya fastfood. Apa iya kita benar-benar butuh ekstra kentang dan minuman ringan super large? Atau kata "Spesial", "Sale", "Diskon". Kita suka perasaan we're getting more and beat the system, kita dapat lebih dan bisa 'ngalahin' sistem. Padahal sistemnya sudah diatur agar kita yang kalah. Nggak mungkin dong do'i-do'i jualan yang bikin mereka loss/merugi, bisa gulung tikar nantinya. Sampai ketidak-bertanggungjawaban kita di media sosial yang main klik like dan share tanpa cek dan ricek pun bentuk ego dan keserakahan kita. We want to be a part of the group, we want to be (seen as) the change in this world; dan hasrat serta keinginan yang begitu menggebu itu bergabung dengan kemudahan pencapaian untuk menghasilkan godaan yang tak tertandingi.

Padahal semua agama mengajarkan untuk menahan diri dan mengontrol 'want' kita. Hampir (atau bahkan mungkin) semua agama memiliki versi puasa masing-masing. Buku-buku spiritualisme atau self-help pun selalu menekankan pengendalian diri, selalu mengajarkan untuk membedakan want dan need. Kenapa? Karena saat kita membiarkan diri kita terbawa dengan 'want' atau 'pengen' kita, kita membiarkan diri kita terjerumus dalam siklus keserakahan yang akan mengosongkan hidup kita. Saat kita memenuhi 'want' kita, yang terpenuhi bukan hanya kebutuhan kita namun juga ego dan keserakahan kita. Saat haus minum air putih pasti rasanya puas. Tapi saat haus minum air putih merk impor di lounge/resto mewah pasti lebih super rasanya. Konflik batin terjadi saat kita tidak mampu mengulangi perasaan pencapaian tersebut. Kita menjadi merasa inadequate/tidak mampu, merasa rendah diri, yang kemudian disusul dengan amarah dan ketidakbahagiaan.

Tapi bukan berarti semua 'want' itu jelek. 'Want' itu bagaimanapun juga adalah bentuk pencapaian, dan sebagai manusia kita perlu pencapaian untuk membuat kita maju. Memenuhi kebutuhan dasar kita sangatlah penting, tapi mendorong diri kita untuk melakukan lebih akan mengembangkan diri kita. Kebanggaan yang kita rasakan saat kita mampu meraih pencapaian akan memupuk kepercayaan diri kita, apalagi saat kita dan orang lain berpikir kita tidak mampu. Dan ini semua dimotori oleh 'want' kita.

Dilema 'want' ini bisa dicegah bila kita memiliki dua hal: kemampuan melihat dan menilai 'want' secara objektif (termasuk efek positif dan negatif yang mungkin terjadi setelah 'want' itu terpenuhi), dan kemampuan menimbang seberapa berharganya 'want' tersebut. 'Want' anda harus membuat anda feel good about yourself, harus membuat anda menjadi seseorang yang lebih baik, harus mengembangkan diri anda. Bahkan sekedar 'want' untuk mencoba restoran mahal pun sebenarnya baik bila itu bisa membuat anda merasa termotivasi kedepannya. 'Want' tidak boleh membuat anda mengorbankan diri anda atau orang lain, atau membuat anda terjerumus dalam ketidakbahagiaan kedepannya. Better safe than sorry.

Hari ini saya masih akan melanjutkan pencarian buku saya. Saya masih belum tahu apakah saya akan memenuhi 'want' saya atau sekedar 'need'. Yang saya tahu keputusan apapun yang saya ambil haruslah sesuatu yang bisa saya pertanggungjawabkan ke diri saya. Kedengarannya lebay yah, ini cuma beli buku lho bukan beli mobil. Tapi kalau kita tidak mulai memaksa diri kita untuk bertanggungjawab akan keputusan-keputusan kecil kita, bagaimana yang besar? Selamat malam Indonesia ❤

#Dapet

#dapet

Mungkin yang paling jelas mendeskripsikan perasaan saya saat ini adalah frase "pengen makan orang". Maklum, lagi menjelang dapet. Biasanya mantan pacar dulu langsung buru-buru membelikan coklat pas tanggal-tanggal mau dapet. Entah co cuit banget (karena dia memang super perhatian) atau reaksi pavlov, takut saya meledak. Suami saya sudah mulai-mulai ngeh belakangan ini. Biasanya saya disogok kentang goreng atau makanan enak biar 'adem'. Mungkin kalau saya dijual di pet store instruksinya sederhana: Beri makan bila mulai bermasalah. Mudah kan melihara saya?

Walau makanan saja tidak cukup untuk membuat saya bahagia, tapi sekitar 95% masalah saya terasa lebih ringan saat saya makan makanan yang enak atau yang saya sukai. It's my happy place. Kata comedian Jim Gaffigan di bukunya Food: A Love Story: "There's an old Weight Watchers saying: "Nothing tastes as good as thin feels." I for one can think of a thousand things that taste better than thin feels." Saya setuju sepenuh hati. Waktu saya lagi stress dan pergi ke terapi, terapisnya bertanya pada saya: "Apakah kamu pernah depresi dan merasa tak ada jalan keluar?" Saya yang dalam kondisi emosional masih sempatnya terhenyak, "Apa mungkin?? Kan selalu ada Mexican food!". Waktu ditanya apakah saya memiliki seseorang, sesuatu yang selalu membuat saya bahagia, saya berpikir tentang teman-teman saya, anda-anda di fesbuk, keluarga saya, sushi, ramen, menudo (sop babat ala Meksiko), steak, apple pie pake es krim, dan seterusnya. Setelah sesi assessment itu berakhir saya jadi mempertanyakan apa iya saya benar-benar butuh treatment. It seemed that I can treat myself. Literally and figuratively.

Tapi itu saya. Dan saya beruntung banget memiliki love of my life yang saya benar-benar suka, happy place saya. Saya rasa saya juga beruntung memiliki cara pikir yang cukup seimbang dan kepercayaan diri yang cukup. Mental saya seimbang dan sehat gituh. Kecuali saat saya dapet, yang langsung seluruh dunia rasanya tiba-tiba tidak karuan. Dari yang kondisi ideal yang pernah kegembiraan dan pengertian seperti di Inside Out atau alam Teletubbies, mendadak jadi hancur berantakan seperti di Hunger Games atau Snowpiercer. Dan walau coklat atau makanan enak lainnya membantu, tapi berkat hormon yang menggila saya pun serasa gila: sedih, marah, pahit, kecewa, beragam emosi negatif bermain di kepala saya, menguasai saya. Ini cuma sebentaran saja ya, begitu selesai haidnya biasanya kondisi langsung normal lagi. Kebayang nggak kalau yang emosinya terus seperti itu? Atau yang tidak memiliki 'happy place' untuk meredakan emosinya?

Kalau kita membicarakan mental illness atawa penyakit jiwa, kita biasanya entah berpikir orang-orang yang luar biasa nggak beres (ketawa sendiri, ngoceh sendiri) atau yang psikopat model Jason dan Freddy. Padahal orang yang kelihatannya biasa pun mungkin memiliki mental illness, yang mana mereka nggak bisa mengontrol perasaan mereka. Beruntunglah anda-anda yang bisa mengesampingkan perasaan anda untuk melakukan tugas yang lebih penting. Banyak lho yang tidak bisa, dan bukan karena mereka cengeng atau lemah, tapi karena tidak bisa. Itu ibaratnya orang lumpuh disuruh meloncat. Kita juga sering tidak mengerti bahwa tiap orang memiliki reaksi emosi yang berbeda. Makanya kita bisa dengan semena-mena bilang "Udah ah meweknya, cari pacar baru aja sana", padahal mungkin buat orang tersebut si pacar lama adalah segalanya. Atau "Duh baru segitu aja, plis deh", padahal mungkin ada yang dialami orang ini yang bisa bikin anda menangis meraung-raung, tapi buat orang ini biasa aja. Different people have different feeling and different perception.

Jangan buru-buru menuding, "Ah emang di Indonesia terbelakang dan ga peka". Di Amrik sini saya mencari help itu susah lho. Padahal konon negara maju dan berperikemanusiaan. Saya coba ke terapis yang dicover sama asuransi saya, dan next available appointment baru akhir Juni. I'll already have my shit together by that time lol. Padahal lagi, disini mass shootingnya itu sudah mengkhawatirkan sekali dan kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang mengalami gangguan emosi. You'd think mereka akan memprioritaskan penanganan gangguan emosi agar tidak ada yang iseng beli pistol dan bang bang bang. Ada website-website model http://7cups.com yang menyediakan sarana curhat, tapi untuk bantuan professional itu susah carinya apalagi kalau anda dianggap low risk (tidak suicidal atau homicidal). Intinya, kalau anda memiliki gangguan mental you are royally f*cked.

Di Indonesia sebenarnya menurut saya lebih mending. Kita masih punya keluarga dan komunitas serta agama/spiritualitas yang bikin kita bertahan. Kalau sedih disuruh sholat tahajud atau sembahyang/berdoa itu bukan tanpa alasan: kita jadi merasa tidak sendirian karena ada Beliau tempat kita bersandar. Orang sini kan nggak begitu-begitu amat percayanya. Keluarga juga hands off banget, elu ya elu gue ya gue. Tapi kita seringkali masih unkind/nggak ramah sama orang-orang yang butuh dukungan kita. Dan seringkali yang mereka butuhkan cuma itu, ada orang yang perduli biar nggak merasa sendirian. Tuhan itu luar biasa, tapi kadang kita butuh sesuatu yang nyata, yang bisa dirasa oleh panca indera kita. Kadang kita Cuma butuh pelukan atau seseorang untuk menggenggam tangan kita, atau sekedar suara di telepon: "You'll be fine.". Bukan yang "you'll be fine tapi sebenarnya gue nggak peduli dan plis udahan ngeganggu gue", tapi yang "I know you are not fine and it is ok to feel that way tapi kedepannya pasti akan lebih baik karena elu pasti dikasi yang lebih baik".

Everyone has their own battle. Nggak semua orang yang kelihatan bahagia sebenarnya bahagia. Nggak semua orang juga yang suka dramatis nggak jelas sebenarnya hidupnya sedramatis itu. Kita mungkin nggak punya lisensi sebagai terapis, tapi bukan berarti kita nggak bisa membantu. Pengertian. Itu aja. Kadang ada yang butuh ngumpet berhari-hari. Kadang ada yang butuh menangis penuh ratapan, bahkan cowok. [Terkadang saya merasa cowok yang beban mentalnya lebih parah. Kita perempuan nangis atau minta peluk itu dianggap biasa, tapi mereka bisa dianggap cengeng dan ga macho jadi mereka nggak ada pelampiasan]. Kadang ada yang terjerumus ke self-destruct. And it's all ok. Selama itu nggak membahayakan orang lain atau diri mereka sendiri, apapun yang orang lakukan untuk mengekspresikan emosinya itu nggak salah. Dan anda perlu membuat mereka mengetahui itu: bahwa mereka tidak sendiri, bahwa perasaan mereka valid, bahwa mereka berhak berekspresi.

Kenapa repot-repot? Karena orang yang bahagia akan menciptakan dunia yang bahagia, yang adem dan damai. Kalau anda pengusaha atau seorang bos anda bisa melihat bahwa karyawan yang bahagia adalah karyawan yang produktif. Dan kenapa pula kita tidak bisa menjadi jawaban dari doa seseorang? Tangan Tuhan yang menyentuh umatnya dan memberitahu: "Hey, kamu nggak sendiri lho. Ini Aku disini untukmu, lewat tangan umatKu." It doesn't hurt to care. Karena nggak semua orang bisa lepas dari emosi mereka semudah saya lepas dari emosi saat dapet saya, yang saya tahu pasti akan berlalu. Bila anda salah satu diantara yang tidak bisa lepas, peluk erat dari saya. You are not alone.

Wednesday, March 23, 2016

Amnesia(L)

#amnesiaL

Kalau baca komentar sinis soal demo taksi yang anarkis saya jadi ikut sinis. Semua mendadak amnesia, lupa kalau sebelum hadirnya taksi online para taksi-taksi ini yang membantu kita. Saya masih ingat waktu saya di Jakarta dulu, nomor taksi yang saya percayai selalu ada di hape saya. Lebih aman naik taksi daripada menunggu bis saat malam hari, atau kalau perlu cepat tapi nggak mau penampilan berantakan karena 'ojekwind', atau kalau kehujanan. Di antara pengguna taksi kebelaguan juga hidup dan meraja dong, dengan yang berasa 'punya' mengibaskan rambut "Oh gue mah cuma percaya Blue Bird." Tahu deh yang punya duit lebih dan sanggup membayar taksi yang bukan 'Tarif bawah'. Taksi Blue Bird juga (biasanya) selalu nyaman dan bersih. Itulah kenapa taksi-taksi mendadak warnanya jadi pada biru, berharap yang manggil berpikir mereka manggil Blue Bird padahal bukan. Kalau dipikir-pikir kenapa mereka pada nggak daftar jadi pengemudi Blue Bird sekalian. Mungkin ada kualifikasi tertentu untuk jadi sopir Blue Bird sehingga yang nggak qualified nggak boleh narik Blue Bird. Wajar saja, nama baik itu mahal lho.

Fast forward beberapa tahun kemudian, cicilan motor dan mobil luar biasa murahnya. Ada Transjakarta pula yang tambah memudahkan perjalanan. Penghasilan para supir taksi ini terpuruk, terhempas. Biaya bensin dan kebutuhan hidup membuat harga taksi tidak lagi affordable. Lalu jreng-jreng-jreng masuklah taksi online. Semua gegap-gempita menyambutnya karena murah dan nyaman. Terutama murahnya. Bisa tetap tampil gaya dengan harga KW? Yuk mareee. Baik taksi mobil maupun motor (baca: ojek) jadi tambah nggak laku. Selain gaya karena tinggal pesan via hape dan dijemput on the spot, harganya juga membantu banget. Harga yang bisa didapat karena nggak ngikutin aturan. Padahal aturan dibikin untuk membantu dan melindungi masyarakat. Pada mikir nggak apa harga yang ditawarkan para taksi online itu masuk akal atau sustainable? Apa iya bakal murah terus? Wajarlah sopir taksi itu pada mengamuk. Ibarat anda biasa jualan bakso Rp 8,000 yang sudah berijin dan aman konsumsi, terus tiba-tiba ada yang jual bakso Rp 4,000 tanpa ijin dan belum tentu aman konsumsi. Atau jual baju sepotongnya Rp 25,000 lalu saingan jual baju Rp 5,000. Ini ngomong-ngomong yang terjadi pada barang buatan Cina ya, baju bisa dijual Rp 5,000 karena dibuatnya massal. Yang jual baju Rp 25,000 tapi buatnya terbatas jelas nggak mungkin bisa ngedrop harga sampai Rp 5,000. Bisa defisit dia. Dan anda heran mereka jadi frustasi?

Menuduh pengusaha atau pemerintah yang 'bermain' di harga taksi juga menggelikan. Anda punya usaha pastinya anda mau untung dong? Anda bikin usaha dan bukan badan amal. Badan amal saja mesti punya profit untuk menggaji karyawannya. Selama ini nggak ada yang protes mahalnya harga taksi atau jeleknya pelayanan taksi, tapi sekarang mendadak pada sok tahu ini salah penguasa dan pemerintah. Padahal taksi itu kebutuhan tertier. Nggak semua orang perlu dan mampu naik taksi, biar yang online sekalipun. Karena taksi online murah mendadak jadi kebutuhan sekunder atau bahkan primer. Cabe deh. Anda tahu kebutuhan primer itu apa? Angkot. Tapi nggak ada yang protes dan demo bilang harga angkot di Jakarta terlalu mahal. Angkot (bis, kereta bawah tanah, shuttle etc) di Los Angeles sini sudah terpadu. Bayar $1.75 dengan kartu bis saya bisa naik dan gonta-ganti moda transportasi sampai tujuan saya (satu arah) selama dua jam. Dua jam hitungan terakhir ya. Jadi kalau saya naik bis jam 8 pagi saya masih bisa melakukan transfer jam 10 pagi, dan karena bayar bis selalu dimuka walau bis yang jam 10 itu baru sampai stasiun tujuan jam 11 atau jam 12 saya tetap aman. Yang naik angkot (terutama bis) ya orang-orang yang ga mampu beli mobil, yang bayarnya seringkali pakai receh. Jadi walau kadang ada rute yang orangnya sedikit, mereka masih tetap harus melayani rute itu demi penumpangnya. Tapi nggak ada dong yang comel di medsos soal pentingnya transportasi umum di Jakarta. Nggak ada yang mikirin nasib pengemudi angkot dan kernetnya yang seringkali juga jadi sapi perahan pemilik angkot. Nggak ada yang mengeluhkan hak masyarakat kecil untuk mendapatkan transportasi umum yang terpercaya dan murah. Kita kan nggak naik angkot, sori-sori aja yah.

Soal aturan, tahukah anda Uber (salah satu taksi online) bermasalah dimana-mana karena melanggar/ nggak mengikuti aturan? Buat anda di Indonesia mungkin nggak berasa, KTP aja masih bisa bikin yang palsu kok. Tapi di Amerika sini ini masalah banget. Soal asuransi misalnya, karena kendaraan pribadi masalah asuransi jadi nggak jelas. Seandainya kecelakaan pihak asuransi bisa menolak klaimnya karena kendaraan itu nggak dilist sebagai kendaraan komersil. Uber juga bisa menolak kaum disable atau penumpang dengan anak, karena kendaraan mereka nggak diequip untuk mengakomodir kaum disable atau child seat untuk anak (yang wajib adanya disini). Keamanan juga isu utama. Untuk jadi sopir taksi resmi disini prosesnya nggak mudah, banyak background check dan track record mesti bersih. Uber nggak seheboh itu ngeceknya, dan kejahatan yang dilakukan oleh supir Uber bisa terjadi. Di India ada supir Uber yang memperkosa penumpangnya. Setelah dia ngedrop penumpangnya dia balik lagi ke alamat itu dan memperkosanya. Di Amerika sini ada pelaku mass shooting yang sebelum melakukan penembakan masih narik penumpang di Ubernya. Kebayang ga kalau dia iseng bang-bang-bang penumpangnya? Sure, supir taksi resmi juga kadang bodong dan bisa melakukan kejahatan, tapi poinnya adalah: aturan itu ada untuk melindungi kita, bukan untuk mempersulit kita. Dan sebaliknya, aturan itu juga ada untuk melindungi pengemudi. Selaku freelance, supir Uber nggak berhak dapat overtime etc, dan kalau mereka diterminate/PHK tanpa sebab jelas mereka nggak bisa ngomong apa-apa. Baru-baru ini pengemudi Uber New York demo karena pemotongan tariff. Alasan manajemen biar bisa bersaing dengan pesaing, tapi yang terjepit mereka. Sopir taksi normal dengan tariff yang teregulasi nggak akan diginiin. Sudah lupakah kita soal demo Go-jek yang memotong tariff pengemudi juga?

Apakah ini berarti saya mengamini tindakan anarkis? Jelas nggak. Tapi jujur saja deh, what's new? Kendaraan baik umum maupun pribadi sering kali dirusak dan dibakar massa saat menabrak orang lain, peduli setan siapa yang salah. Penumpang diturunkan paksa dan pengemudi digebukin juga biasa saat demo menuntut kenaikan tariff angkot. Kemana suara kita saat itu? Foto pengemudi Blue Bird dengan senjata tajam dan status yang memprovokasi juga bukan hal baru. Sudah sering saya melihat ancaman dan kebencian seperti itu di media social, biasanya soal agama atau anti ras tertentu. Pemuka agama, seleb religi, media kompor, semua sibuk mengamini dan mendiamkan letupan-letupan emosi ini, bukannya mengingatkan untuk tetap tenang dan damai. Semakin panas semakin laris cuy, ngapain diademkan. Kita yang juga sibuk me-like dan nge-share berita kompor, berita yang "Me vs You", kenapa sekarang mendadak heran akan terjadinya tindakan anarkis dan kebencian? Kita mengajarkan dan menyebarkan bahwa tidak apa-apa membenci orang lain, kenapa heran saat kita yang dibenci?

Nggak usah bacot bilang ini salah pengusaha, pengusaha dan pemerintah yang bermain etc. Nggak usah bacot menyalahkan sopir taksi yang gagap teknologi. Ini bukan soal teknologi, ini bukan soal Sharing Economy, ini soal ketidak-adilan yang dirasa terjadi. Bukannya menuding SDM kita yang tidak siap, kita seharusnya berpikir bagaimana menyiapkan mereka. FYI Indonesia salah satu pengguna Facebook terbesar, tapi menurut survey banyak dari kita yang bahkan nggak tahu Facebook itu pakai internet. Sedih nggak sih? Dan Sharing Economy pala loe peyang, saya masih ingat banyak orang kantoran beralih jadi pengemudi Go-Jek saat jayanya karena tergiur bayarannya yang konon besar. Kalau anda yang bisa memilih pekerjaan lain mengambil jatah para pengemudi ini, mereka makan apa dong? Dari yang "mumpung ada jadi kenapa nggak dibikin jadi uang" jadi "diadain demi dapat uang". Ini bukan Sharing Economy jadinya. Uber itu awalnya dibuat agar orang yang mumpung mau pergi kemana gitu bisa dapat uang tambahan mengangkut orang lain yang searah, tapi malah pada bikin ini jadi full-time job. Ya itu, karena gampang jadi pengemudi Uber, less checking and no attachment. Muncullah rental-rental yang nyewain mobil untuk orang yang mau jadi pengemudi Uber, dan bahkan broker-broker yang kerjaannya merekrut orang dan menangguk bonus rekrutment dari Uber. Sama dengan AirBnB, yang awalnya cuma room-sharing, manfaatin kamar kosong dirumah, akhirnya jadi masalah karena banyak apartemen (di daerah populer) yang menolak menyewakan kamarnya untuk jangka panjang. Buat apa disewakan $1500 perbulan kalau bisa disewakan $500 per minggu? Saya sewa kamar di AirBnB di Los Angeles seharga $450 untuk seminggu plus biaya AirBnB, saat iseng tanya rentnya di front desk ternyata cuma $610 sebulan. Yang untung siapa? Yang punya modal.

Shame on you yang merendahkan para sopir taksi yang sedang kebingungan ini, yang nggak mau mengerti kondisi mereka. Yang dengan sombongnya menyalahkan mereka karena gagap teknologi, nggak mikir bahwa anda termasuk beruntung yang kondisi keuangan dan pendidikannya membuat anda mampu memiliki dan menggunakan teknologi canggih. Padahal biar app mereka seindah dan semulus app terkenal di iPhone atau GooglePlay pun anda nggak mau manggil mereka karena nggak masuk budget anda. Shame on you yang langsung begitu saja beranggapan anda 'lebih baik' dari orang kebanyakan karena pakai taksi online, padahal dulu sok-sokan 'lebih baik' dari orang lain karena sanggup pakai Blue Bird atau paling nggak Ekspress Taxi, bagai kacang lupa kulitnya. Shame on you yang saat perusahaan-perusahaan taksi ini berusaha melakukan (social) damage control malah anda hina dina, bukannya berpikir positif bahwa "At least they are trying!". Shame on you yang mendiamkan dan nge-share kebencian di media social, apapun alasannya, dan dengan demikian membuat orang lain berpikir "It's ok to be violent and hateful". Shame on you yang baru berkoar setelah hajat hidup anda untuk tampil gaya dengan nyaman dan murah terjajah, padahal transportasi umum yang aman dan terjangkau juga dibutuhkan oleh masyarakat yang nggak sanggup naik taksi biasa maupun online. I see your ugliness. Shame on you and your Amnesia(L)!

Friday, March 4, 2016

Saat Gengsi Menuntut Bayaran

Lucu ngeliat orang pada kebakaran jenggot soal gaji pegawai kemenpora dipotong demi Rio. Terlepas dari bener nggaknya, ya ini hasil dari mendukung gengsi dan mengharumkan nama. Nama dan reputasi itu butuh modal bo'. Apa iya anda bakal dilirik saat makan malam elegan di restoran mewah bila hanya datang dengan gaun lusuh dan sepatu yang terlihat kumel? Jangankan dinner, wawancara pekerjaan kalau kurang kinclong bisa terancam ditolak. [Btw salut sama Indonesia yang masih keukeuh pasang iklan lowongan kerja yang diskriminatif: "berpenampilan menarik".]

Kinclong itu butuh modal. Makanya kartu kredit, kredit tanpa agunan etc laris manis, kita bisa bergaya dahulu lalu mati kemudian. Ya seperti Rio inilah, kenceng bener gembar-gembornya "Ayo dukung Rio!" tapi nggak mikir duitnya dari mana. Pada pernah ngebalance pembukuan nggak sih, minimal pembukuan rumah tangga? Atau selama ini hidup dengan berdoa setiap malam "Ya Tuhan, semoga duit masih cukup sampai gajian", bukan karena gaji kurang tapi karena nggak mau planning? Anak kuliah saja yang nge-kost sudah paham periode "Mi Instan" disaat harap-harap cemas menunggu kiriman uang bulanan dari rumah. Anda pikir duit sekian milyar untuk Rio dari mana? Pasti ada yang dikorbankan.

Pemerintah suwek dan bodoh dan kejam karena memotong gaji? Lah, tapi kan anda yang menekan pemerintah untuk "Peduli akan kehormatan bangsa"? Dan untuk apa? Untuk sebuah gelar yang mungkin 99% (atau lebih) rakyat Indonesia nggak mampu mencapainya. Racing itu bukan olahraga murah bo'. Setelah Rio, kalaupun ada racer berikutnya pasti dari keluarga berada lagi karena cuma mereka yang sanggup ngebiayain latihan dasar atau bahkan bersentuhan dengan namanya mobil balap dan nggak cuma liat di tv. Berapa sih dari anda yang pernah nonton F1 live? Pasti lebih sedikit dari yang koar2 "Ayo Dukung Rio!!". Tapi ya gengsi is gengsi toh. Nggak perduli darimana modalnya the show must go on, dan tinggal gigit jari saat cuma bisa makan nasi sama garam. Eh tapi masih bisa pake lauk kok, karena seperti petuah bijak mama saya: "Makan tuh gengsi."

Bukannya saya anti-racing ya, cuma buat saya nggak tepat aja. Mungkin anda pernah lihat atau membaca tentang masa kejayaan Russian Ballet Academy. Russian Ballet Academy yang disponsori negara Rusia bertujuan mengharumkan nama Rusia dan melestarikan baletnya. Semua orang (baca: anak kecil) bisa ikut audisinya dan kalau lolos ya jadi murid disana yang asrama plus uang saku ditanggung negara. Makanya banyak cerita balerina terkenal berasal dari keluarga miskin. Skill bisa dipelajari, tapi kelenturan tubuh dan bakat alam itu anugrah dari lahir. Di Indonesia saya yakin begitu banyaknya bakat alam yang bisa digali untuk cabang olahraga yang tidak membutuhkan biaya besar. Tinju, renang, badminton, atletik, angkat besi, ini hanya sedikit dari contoh olahraga yang bisa kita dukung. Semua butuh modal dan biaya pastinya, tapi mobil balap itu a class of its own. Dan karena tidak membutuhkan mobil balap err biaya yang terlalu besar untuk latihan, bahkan dari keluarga kurang berada pun memiliki kesempatan untuk berkompetisi dan mengharumkan nama keluarga. Pulang kampung mereka dihargai dan jadi pahlawan. Ini yang lebih berarti buat simbok dan simbah dikampung. Ini yang lebih berarti untuk masyarakat marjinal, bahwa mereka pun punya kesempatan dan tidak hanya berpikir dengan tidak pedenya: "Saya kan cuma wong ndeso".

Kalau bicara harumnya nama bangsa, kita juga nggak ada kesepakatan. Biasanya cuma sepakat dan satu suara saat nyalahin orang (baca: pemerintah). Heran aja sih disaat BPJS masih sedemikian buruknya, disaat tenaga medis dan pengajar di daerah terpencil dibayar dengan buruk, disaat masih banyak daerah di Indonesia yang tidak terjangkau (boro-boro ada listrik, apalagi internet), kita bisa pedenya menuntut pemerintah mendanai Rio sekian milyar. Taruhlah pemerintah nggak segitu korupsinya, taruhlah mereka memang punya dana itu nganggur, apa nggak lebih baik disalurkan ke yang lebih butuh? Paling nggak sekali seminggu di fesbuk saya ada yang ngepost soal lansia atau orang cacat yang malang dan hidup berkekurangan. Atau kalau mau memang membiayai untuk mengharumkan nama negara, sekalian bikin macam Russian Royal Ballet Academy gitu.

Pemerintah nggak peduli karena kita nggak peduli. Rio bukan cerita baru, dulu ada jawara tenis yang juga nggak didukung pemerintah. Di Indonesia yang masih feodal, siapa yang anda kenal atau pencitraan lebih penting dari apa achievement anda. Kalau nggak percaya, lihat aja pas pilkada, apa iya ada kinerja yang bisa anda lihat dari calonnya? Atau minimal program yang benar, bukan jargon belaka? Eit, bukan cuma di Indonesia ya. Disini pendukung Donald Trump untuk jadi Presiden Amrik buanyak banget, padahal dia sama sekali nggak qualified. Rio sama juga, berkat tulisan viral "Bocah Malang" dia jadi terbantu. Coba kalau temanya "Bocah Kaya", ada juga dimaki2 lengkap dengan dikata-katain SARA. Atau kalau kemenangannya di olahraga yang nggak tenar seperti angkat besi gitu. Repot kan, kita aja ngedukung jagoan kita pilih kasih, tapi mau pemerintah bersikap adil dan merata.

We want to be in the winning team, tapi nggak mau susahnya. Nggak usah nyalahin pemerintah yang nggak nyiapin dana, kalau tiap orang yang ngeklik like atau share artikel "Bocah Malang" Rio menyumbang Rp 15,000 saja, itu penggalangan dana sudah selesai dari kapan tahu. Nggak percaya? Misalnya tiap artikel yang menyinggung "Bocah Malang" bisa dapat 100,000 like, itu udah Rp 1.5 milyar. 10 artikel saja sudah Rp 15 milyar. Tambah lagi status-status pendukung Rio yang dilike dan diamini banyak orang. Dan itu cuma Rp 15rb ya, cuma seharga nasi pecel ayam di emperan. Para pendukung olahraga mahal minimal mampu 3kalinya lah, seharga kopi di emol gituh. Apalagi yang sanggup nonton langsung di Singapore dan Malaysia, 10 kalinya atau bahkan 100 kalinya mah duit receh itu. Tapi nggak terjadi kan. Karena rasa kebangsaan kita baru sekedar jargon, masih cuma mau (nebeng) tenar tapi nggak mau susah, pilih kasih pula. Ya jangan berharap banyak ya mas dan mbak.

Besok-besok ada lagi drama orang yang diakui di negara lain tapi tidak di Indonesia, lalu kita akan merintih dan berteriak dan mengumpat:"Dasar Indonesia tidak bisa menghargai anak negerinya!", tanpa menyadari kitalah bagian dari masalah itu. Dan sejarah terus berulang. Sampai kapan? Entahlah. Karena bertambahnya usia itu otomatis, tapi kedewasaan itu pilihan dan pembelajaran. Sudah siap naik kelas, atau mau mengulang setahun lagi?  


[Pic from Mariinsky Ballet - Cinderella]

Thursday, March 3, 2016

Life Hack: Ngeshare-Ngesave Aman di Facebook

Pada tahu kan kalo sekedar ngeshare aja nggak akan kesimpen di saved item nya fesbuk? Musti aktif mengklik pilihan di ujung kanan atas (yang kayak panah kebalik) dan pilih Save Link. (Lihat gambar 1 yang pake nama saya)

Kalo nemu yang pengen disimpan dari wall orang lain juga nggak perlu share dulu, sekarang bisa langsung klik pilihan Save Post. (Lihat gambar 2 yang dari Indonesian History).

Dulu emang iya, opsi Save Post itu baru nongol setelah kita ngeshare/ngepost. Tapi sekarang udah nggak kok. Jadi kalau ada yang bilang "Klik Share dan langsung tersimpan" atau "Klik Share untuk menyimpan" itu entah owner page nya yang nggak update ato sengaja misinformasi agar page activity nya meroket. Like, share, comment itu menaikkan page activity dan page yang activity nya tinggi bisa dijual mahal.

Ingat, fungsi social media adalah social. Kalau ada hal-hal yang ingin anda sharing terhadap orang tertentu dan anda ingin teman-teman orang tersebut juga membacanya, monggo pakai fungsi tag. Kalau cuma antara anda berdua, pakai messenger. Kalau ada yang anda ingin semua orang lain tahu, misalnya anda merasa penting untuk ngeshare album tentang peternakan siput, monggo share umum. Tapi kalau cuma untuk menyimpan resep, doa, inspirasi pernak pernik etc, sebaiknya cukup pilih "Save Post" saja agar timeline teman anda tidak penuh. Anda bisa komen di album tersebut bila masih ingin mensupportnya, tapi sharing untuk bisa ngesave post tersebut tidak diperlukan lagi.

Sesayang-sayangnya teman anda, pasti dia lebih ingin melihat aktivitas anda yang mencerminkan siapa anda seperti update status, upload photo, like artikel/berita dan bukannya 10 album resep, 6 album doa, 3 album how to untuk bikin suvenir, 5 album pemandangan dst. Percaya deh, yang begituan banyak kok di Internet. Jangan overshare, karena bisa-bisa teman anda unfollow/memblok anda di linimasa mereka sehingga saat anda ada update yang benar-benar penting mereka justru tidak tahu. Be considerate yaaa...

Search This Blog