AdSense Page Ads

Wednesday, May 31, 2017

Rejeki Anak Baik

Kemarin saya kongkow bersama satu grup mahasiswa S2 dari berbagai negara. Pada masih muda dan cihui banget lho, bahagia jadinya. Eh nggak, nggak, bukan begitu maksud saya. Saya takjub saja melihat dimana saya berada sekarang, dan orang-orang disekeliling saya.

Yang bikin saya betah di Amerika adalah, orang-orang yang saya temui kebanyakan nggak nge-judge, nggak menghakimi. Ada sih pastinya, tapi kebanyakan orang-orang yang saya temui di social setting/acara iseng nggak reseh. Saya bisa datang ke acara yang isinya semua orang yang tidak saya kenal, dan tetap pulang dengan hati bahagia setelah puas haha hihi semalam suntuk. Nggak ada yang ngeliatin dari atas sampai bawah dengan mencibir seolah saya paling nista sejagad, nggak harus juga saling berusaha membuktikan siapa dirinya (baca: pamer barang/ pendidikan/ pekerjaan/ status sosial). Nggak rempong dunia deh.

Tentunya yang somse (sombong sengak) juga ada, apalagi kalau mereka memang punya alasan untuk somse. Biasanya sih saya nggak nemu yang begini di acara-acara yang saya temui, tahu diri juga sama penghasilan soalnya, jadi ke acara yang sesuai kantong hihihi. Tapi contohnya para mas-mas S2 berondong ganteng itu, mereka keuangan mapan jaya lho tapi nggak rese sama saya. Kenapa juga harus rese? Kan kita semua memang setara, bukan?

Rasanya nikmat bebas merdeka banget lho diperlakukan seperti manusia yang setara. Padahal kalau dipikir-pikir siapa saya, admin kantoran gaji UMR yang mobil saja tidak punya. Boro-boro pakai tas mahal, barang paling mahal di badan saya hanya kalung emas pemberian Ibu saya. Kuliah juga cuma S1, dan baru di Amrik 4 tahun, dengan bahasa yang masih blepotan. Jadi ingat waktu teman kuliah mantan pacar saya pulang liburan dari program S2 di Australia, yang mendadak lupa Bahasa Indonesia. Apalah saya coba???

Saya, ternyata, adalah Ary Yogeswary. Paling nggak begitu menurut orang-orang disini. Bukan admin kantor miskin dengan apartemen sebesar kamar kos-kosan di daerah kampus, bukan imigran yang kesini dan numpang hidup dengan nebeng/memanfaatkan suaminya (baca: gold digger/cewek matre atau sekalian mail-order bride). Saya adalah Ary Yogeswary, yang seru kalau diajak ngobrol, yang selalu siap diajak 'gila', yang ceria dan menyenangkan. Sudah, itu saja. Nggak penting berapa gaji saya, apa pendidikan saya, dan seterusnya. Yang penting saya sebagai pribadi. Mereka nyaman dengan saya, ya sudah cukup sekian.

Lagi-lagi, ini saya beruntung selalu menemukan orang-orang yang seperti ini. Banyak juga kok yang menghakimi nggak karuan. Mantan suami saya sempat terhenyak lho (jyaaaah… bahasanya) saat melihat mal-mal di tengah kota Jakarta. Maklum, sebelumnya di Indonesia cuma ke Rumpin (di dekat BSD) dan Pare-pare. Jadi dia dengan manisnya berpikir Indonesia itu lebih 'kurang' daripada daerah asalnya. Saya bawa ke Grand Indonesia dan Senayan City dong. Cihui. Biar gaji rupiah tapi kelas nongkrong mesti tetep asoy. #kibasrambut

Nah, masalahnya, yang menghakimi nggak karuan ini lebih sedikit daripada yang asik-asik aja. Ngerti banget kalau agak pilih-pilih saat PDKT atau di-PDKT-in, tapi kadang di Indonesia baru ngelirik aja udah dicemberutin. Dianggap 'kurang' sedikit (kurang kaya, kurang cakep, kurang cihui), langsung pasang muka "You can't sit with us. Loe ga boleh duduk dekat-dekat gue." Berapa banyak sih dari kita yang bisa bilang, "Oh gue kenal dia di kawinannya ABC, kita ngobrol bareng dan ternyata seru banget!" Jujur saja, setahun hidup sendiri disini saya punya jauh lebih banyak teman daripada 5 tahun hidup di Denpasar.

Buat saya, memandang rendah, menghakimi, menilai seseorang itu sangat nggak manusiawi; apalagi untuk hal-hal yang diluar kendali kita seperti status sosial, pendidikan, atau modal ortu di dompet. Biar sepatu saya cuma diskonan Target (Departement Store sekelas Matahari), tapi bukan berarti saya nggak bisa bikin kamu merasa nyaman, bukan berarti saya nggak bisa ngebantuin kalau kamu lagi butuh bantuan. Dan saya rasa orang disini mengerti itu. Nggak penting apa yang saya pakai, yang penting apa yang kamu rasakan saat bersama/kongkow dengan saya.

Kalau mau menggali lebih dalam lagi, ini juga terkait asas manfaat. Saya ingat waktu di Indonesia kadang mendengar "Wah, enak dong elu temennya [sebut nama anak pejabat/artis/dan sebagainya]". Tapi kan dia temenan sama anaknya, nggak ada urusan sama emak/bapaknya, batin saya. Makanya orang-orang yang status sosialnya lumayan tinggi semua orang ingin jadi best pren, tapi yang biasa aja tolong duduk manis di pojokan. Terus yang orang biasa, muka biasa, nggak ada faedah secara sosial, sana kelaut ajah…

Saya kedengarannya tega, tapi ini benar lho. Contoh paling nyata adalah saat saya kuliah dulu, yang banyak teman-teman sejawat mencibir saat saya getol main ke fakultas ekonomi. Maklum, konon cerita kita anak FK kan yang paling te-o-pe. Tapi orang-orang FE inilah yang membantu saya lulus mata kuliah statistic dengan gemilang, disaat rekan-rekan FK saya sibuk "Wat de pak is this!!!" Kita nggak pernah tahu bagaimana seseorang akan bisa membantu kita didepannya, jadi nggak ada salahnya selalu bersikap ramah dan manusiawi terhadap orang lain. Jangan juga cari teman hanya karena ada perlunya. 

Ini omongan basi yang diulang berkali-kali, tapi hidup sendirian hampir 13 ribu kilometer jauhnya dari rumah membuat saya benar-benar mengerti akan hal ini. Orang-orang di bis yang mengajak saya mengobrol, teman kongkow yang walau ketemu hanya sekali dua tapi tetap heboh saat tak sengaja bertemu lagi, rekan kerja yang ga pake #kibasrambut saat beli mobil atau rumah baru. Kadang-kadang kita nggak perlu alasan untuk menolong atau bersikap ramah. Salah. Kita nggak pernah perlu alasan untuk berbuat baik. Just do it. Lakuin aja.

Tapi saya nggak akan senyaman ini kalau sayanya minta disambit sendal. Saya nggak akan senyaman ini kalau saya yang asas manfaat, kalau saya yang asik ngejudge/ menghakimi orang, kalau saya pilih-pilih kapan dan dengan siapa saya akan berlaku beradab. Apa yang kita terima biasanya sih apa yang kita berikan. Tuhan Maha Adil, kan? Tinggal kitanya yang sadar diri atau nggak hihihi.

Di dunia yang penuh pertentangan (karena jualan permusuhan itu lebih laris daripada jualan gorengan), sangat mudah untuk melabeli orang lain dan berpikir kita 'beda'. Dan ini harusnya nggak terjadi. Minggu lalu 2 orang meninggal karena bereaksi terhadap seorang gila yang memaki-maki 2 wanita Muslim di Portland, Oregon. Kalau mau dirunut lebih jauh, saya bisa menikah dan hidup disini karena di tahun 1965 pengadilan Amerika memutuskan pernikahan antar ras bukanlah tindakan kriminal. Dan di tahun 1955, satu dekade sebelumnya dengan Rosa Parks sebagai ujung tombaknya, diputuskan bahwa pemisahan tempat duduk antara kulit putih dan kulit hitam tidaklah konstitusional, tidak boleh terjadi.

Nggak ada lho yang maksa mereka mengambil keputusan itu. Di jaman 1950-1960an jumlah penduduk kulit putih itu 90%, mayoritas banget. Negara-negara lain di dunia juga belum seperti sekarang yang lantang menuntut penegakan hak asasi. Bisa saja saat itu pemerintah dan penduduk mayoritas pura-pura bego, toh nggak ada faedah langsungnya. Tapi mereka nggak lho. Mereka malah memperjuangkan hak-hak minoritas karena, yah, itu hal yang harus dilakukan. Keadilan bagi semua. [Asal tahu, ada lho yang membela dan kekeh mempertahankan pemisahan ras ini berdasarkan dalil agama/kutipan ayat Alkitab, dengan alasan itu percampuran ras sangat tidak Kristiani].

Hasilnya? Negara mereka maju, karena warga negara terlindungi haknya. Rasisme sih tetap ada, kita sayangnya belum menemukan vaksin untuk kebodohan dan ketidakpedulian, tapi prinsip dasar bahwa setiap orang setara itu sudah merasuk dalam diri mereka. Mau membangun infrastruktur atau program ini itu pun yang harus melibatkan dan demi seluruh masyarakat, bukan pilih-pilih tergantung mana yang demo paling kenceng. Dan itulah kenapa si janda kembang ini (jyaaaaah) bisa hidup aman dan damai di Los Angeles.

Semua berawal dari kita. Sudah mampukah kita melihat seseorang sebagai siapa dirinya, ataukah kita masih silau dengan 'bawaan'nya? Atau lebih parah lagi, berasa jadi asisten nggak resminya malaikat maut dan sibuk menentukan siapa masuk surga dan siapa yang nggak? Hidup tuh cuma sebentar lho. Be happy. Berbahagialah. Perlakukan orang sebagaimana kita ingin diperlakukan, dan jangan mendahului Tuhan dengan sok tahu menentukan faedah orang. Itu luar biasa lho pahalanya, karena tiap kali saya berdoa saya selalu nggak lupa berterimakasih pada Tuhan akan kebaikan orang-orang ini. Senyuman anda, keramahan anda, sikap anda yang tak memandang rendah orang lain, itu semua akan mengubah hidup orang lain, dan akan mengubah dunia.

Jadi, sudahkah anda bersikap ramah dan manusiawi hari ini?

Update: barusan dikasi kupon bis gratis sama sopir bis huhuhu. Sebelumnya sopir bis jurusan lain (yang kenalan saya) sibuk dadah dadah saat lewat. Bener deh, saya nggak pernah merasa sendirian disini. It pays to be nice. Jadi orang baik itu banyak rejekinya.

Monday, May 22, 2017

Surga Di Muka Bumi

Di Amerika sini saya belajar apa itu 'kindness' atau kebaikan. Dari awal saya sampai disini, sampai hampir 4 tahun saya menetap, begitu banyak orang yang menebar kebaikan untuk saya. Kayaknya hidup saya disini selalu dikelilingi senyuman dan tawa hangat. Orang di komplek apartemen saya, orang yang Kebetulan bertemu dijalan, semua dengan perjuangannya masing-masing, semua dengan senyum dan sapaan ramah masing-masing.

Inilah yang bikin saya jadi pusing tiap kali membaca timeline fesbuk teman-teman Indonesia. Rasanya seperti menonton film horror murahan yang hanya pamer paha dan dada (kebetulan syutingnya di ke-ep-ce), menghibur nggak bikin frustasi iya. Semua berlomba-lomba menulis tulisan paling wah, paling gres, paling bombastis demi rating, like, dan share. Entah demi materi maupun demi terlihat 'pintar', semua menebar berita dan opini dan opini dibalik berita, tanpa memikirkan apa dampaknya. 

Diantara semua clickbait (Baca: headline/judul menggantung yang membuat anda penasaran dan mengklik untuk membaca isi berita yang biasanya nol besar alias nggak sebombastis judulnya) yang dishare dengan patuhnya, seringkali bahkan tanpa membaca penuh isi berita, ada ketidak-perdulian yang mengakar, ada ketidak-percayadirian yang tersembunyi, ada kemarahan dan kebodohan yang membelit hebat.

Siapa kita sebenarnya? Kenapa kita begitu marah, begitu bodoh? Kenapa kita menurut akan apa saja yang tertulis di media yang tidak memiliki kredibilitas, menyalurkan emosi kita terhadap tulisan yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan, membuang waktu kita dalam kemarahan dan kenegatifan? Kenapa kita hanya membeo atau mengembik "Setujuuuuuuuuu" tanpa memikirkan masak-masak apa yang kita setujui? Atau bahkan siapa yang kita setujui? Kenapa kita tidak marah atau bertolak saat tokoh panutan [medsos] kita jelas-jelas terlihat menyebar berita palsu, kenapa kita pilih-pilih apa yang kita bela dan apa yang pura-pura kita tidak lihat? Kemana integritas kita? Kemana nalar dan nurani kita?

Tutup semua akses dari luar dan fokuslah pada diri anda. Siapa anda? Apa sebenarnya anda? Sudahkah anda menjadi cerminanNya?

Orang sini memiliki banyak alasan untuk tidak ramah terhadap saya. Saya terlihat berbeda dari mereka. Bahasa Inggris saya tata bahasanya masih belepotan. Saya kurang mengerti adat istiadat disini. Saya bukan salah satu dari mereka. Nggak apa-apa, pikir saya. Sulit dapat kerja pun saya nggak menganggap ini diskriminasi. Wajar toh kalau mereka lebih nyaman dengan 'sebangsa'nya. Saya pun kalau di Indonesia menerima CV seseorang dari negara Vanuatu atau negara yang tidak begitu dikenal lainnya pasti agak ragu. Ada begitu banyak hal lain yang saya syukuri disini: air keran bersih siap minum, naik taksi online tanpa drama, kesetaraan hak dan kebebasan dari gossip miring.

Semua ini menjadi sebuah lingkaran yang terus berputar: saya yang memilih menjadi santai dan bahagia membuat orang disekitar saya pun menjadi santai, saya yang memilih tidak keberatan diajak berbincang membuat orang lain tidak merasa sendiri, saya yang memilih sigap membantu orang (karena saya tahu nggak enaknya minta tolong saat butuh bantuan) membuat orang lain pun sigap membantu saya. 3 tahun 11 bulan disini, dan pengalaman baik yang saya rasakan jauh, jauh melebihi pengalaman buruk saya. Saya bahagia. Dan kebahagiaan saya membuat orang lain merasa bahagia.

Kembali lagi ke media sosial, apa yang anda rasakan? Apakah anda bahagia, merasa damai dan tenang? Apakah anda merasa mandiri, berintegritas, memberikan sumbangsih yang berharga untuk sekitar anda? Apakah anda merasa puas dengan siapa diri anda dan apa yang anda lakukan?

Kita tidak lagi hidup di jaman kerajaan, dimana yang bisa memberi perintah hanyalah keluarga bangsawan dan orang-orang yang ditunjuknya. Tidak ada lagi punggawa kerajaan yang memberikan titah untuk para rakyat biasa, atau Kompeni yang memberikan instruksi untuk orang jajahannya. Orang-orang pemerintahan kita yang memilih, yang membuat kita bisa membusungkan dada karena nasib mereka sebenarnya ada di tangan kita; namun sebaliknya juga membuat kita bisa terpuruk akan besarnya beban, karena apa yang kita pilih akan menentukan nasib banyak orang kedepannya, bukan hanya nasib kita. Di masa dimana semua batas gugur bagai daun jati di musim kemarau, suara dan pikiran kita menjadi lebih berarti dari sebelumnya.

Jadi apa yang akan anda kumandangkan? Apa yang akan anda berikan bagi dunia ini? Mau anda bawa kemana orang-orang di sekeliling anda? Mau anda bawa kemana diri anda? Sudahkah anda melihat teduhnya hati Sang Pencipta di mata anda saat anda melihat cermin? Sudahkah anda melihat kasih lembut Sang Maha Pemaaf di senyuman anda saat anda melihat cermin? Sudahkan anda melihat damai surga di raut wajah anda?

Kita berpikir hanya tsunami raksasa yang bisa mengubah tampilan pantai, namun tetesan air yang terus-menerus sebenarnya akan mampu membolongi batu. Kita tidak perlu menjadi ombak besar yang bergemuruh, cukuplah menjadi riak-riak kecil yang secara konstan menghiasi badan air dan dengan demikian mempengaruhi kehidupan didalamnya. Bila kita tenang, bahagia, nyaman dengan diri kita sendiri, maka orang lain pun bisa menjadi tenang, bahagia, dan nyaman dengan diri mereka. 

Dan nggak apa-apa lho kalau anda merasa benar dan yang lain salah, karena benar salah itu relatif. Yang nggak relatif alias absolut adalah kita nggak boleh menyakiti mahluk hidup, apalagi sesama manusia. Seperti ini: dua kali tiga tambah empat hasilnya relatif, yang jawab 10 itu benar ((2x3)+4), yang jawab 14 juga benar (2x(3+4)). Kita bisa berantem sampai bego antara 10 vs 14, sampai saling menghina dan memaki, tapi yang tahu yang paling benar ya yang membuat soal (baca: Tuhan). Tapi angka dua dan tiga adalah bilangan prima (bilangan yang hanya bisa dibagi dengan angka satu dan dirinya sendiri), ini sudah absolut.

Apa yang absolut di dunia ini, di hidup anda? Di hidup saya, yang absolut adalah senyum ramah orang-orang yang saya temui dijalan, tawa hangat teman di Indonesia saat saya video call, perasaan bahwa saya berguna bagi orang lain, dan saya mampu membuat orang lain merasa bahagia dengan dirinya sendiri. Diantara gemuruh suara negatif dan godaaan pikiran buruk, saya memilih untuk berlindung dalam ketenangan saya. Apa saya salah? Mungkin. Apa saya benar? Mungkin. Apa saya merasa hidup saya berarti? Iya. 

Di dunia yang penuh kegelapan dan ketidakpastian, saya ingin menjadi lilin kecil yang memberikan keteduhan; seberkas cahaya yang bisa membuat orang-orang yang melihat tidak lagi merasa sendiri dan hilang. Dan saya nggak mau mikirin mereka itu siapa, apa nanti kita akan masuk surga bareng atau nggak, apa nanti saya atau dia dirajam di neraka. Itu urusan belakangan, pe-er yang masih sedang dinilai si pembuat soal. Saya cuma nggak ingin orang lain merasa sedih, saya cuma ingin orang lain merasa bahagia, walau hanya sebentar, hanya sebatas bertukar senyuman. Toh nggak ada yang berkurang dari saya saat saya memikirkan kebahagiaan/perasaan orang lain. Nggak usah pelit.

Kalau anda bagaimana? Apa yang ingin anda dapatkan untuk diri anda? Apa yang ingin anda capai untuk dunia ini? Karena apa yang anda lakukan akan mempengaruhi orang yang bersinggungan dengan anda. Mampukah anda naik tingkat menjadi 'manajer' diri anda sendiri, dimana anda membuat keputusan berdasarkan apa yang anda pikir benar dan bukannya karena 'suruhan' (langsung dan tidak langsung) orang lain? Sudahkah anda memiliki integritas dan kejujuran yang konon ciri khas orang 'berkelas' (gentleman)? Sudahkah anda berusaha sedapat mungkin memberikan yang terbaik untuk dunia, yaitu memberikan dunia yang terbaik dari diri anda tanpa melukai atau merampas hak orang lain?

Perubahan dimulai dari kita. Dari orang-orang yang membaca tulisan ini, yang mampu mengerti dan mau memahaminya. Surga tidak harus menunggu hingga kita mati nanti. Surga dan kedamaian bisa dimulai sekarang, di muka bumi ini. Sekarang, sudah siapkah anda mencapai ketenangan dan kedamaian? Nggak bakalan mudah, karena berdamai dengan diri sendiri itu sulit, dan juga berdamai dengan tekanan sosial. Tapi percaya deh, hidup akan jadi jauh lebih menyenangkan :) . Yuk, kita nikmati indahnya hidup bersama-sama.

Wednesday, May 10, 2017

Ibu Pertiwi, Nge-Teh Yuk

Ibu Pertiwi apa kabar? Duduk Bu, bareng saya. Kita nge-teh sambil ngobrol dan ngemil gorengan. Di Los Angeles sini yang paling dekat dengan ngemil gorengan itu adalah ngemil tempe mendoan di Wong Java, yang royal banget ngasi cabe rawitnya. Hashtag #bahagia.

Sini Bu, bersandar di pundak saya. Yuk saya peluk agar Ibu tidak merasa sendirian. Biar saya membantu memanggul beban Ibu walau hanya secuil saja. Bukan hanya saya saja lho Bu, begitu banyak yang ingin memeluk Ibu dan meringankan beban Ibu. Angkat dagu Ibu tinggi, jangan malu Ibuku sayang. 

Saya cuma bisa membayangkan frustasinya Ibu. Sekian dekade berjuang membebaskan diri dan rakyat Ibu dari penjajahan, 72 tahun kemudian kita masih dijajah. Rakyat kecil masih ditindas dan haknya dirampas. Masih jauh, jauh sekali kita dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjadi dasar negara kita. 

Banyak yang mendadak malu menjadi orang Indonesia. Banyak yang memaki dan putus harapan pada Indonesia. Saya tahu, itu juga beban pikiran Ibu. Ibarat pendukung Trump vs anti Trump: yang anti Trump menuduh pendukung Trump orang kampung yang tidak bisa berpikir panjang, yang pendukung Trump menuduh yang anti Trump itu antek asing yang akan menghancurkan nilai-nilai agama dan budaya luhung Amerika. Persis banget kan seperti berantem saat ini di Indonesia? Dan Ibu yang rasanya jadi ingin menenggak P***dol sekotak karena pusing melihat pertengkaran anak-anak Ibu.

Tapi saya nggak malu kok Bu jadi orang Indonesia, bahkan saat ini semua terjadi. Saya tinggal di Amerika sini bangga sekali dengan ke-Indonesia-an saya. Saya nggak bangga karena budaya kita unik atau karena alam kita indah. Kan saya nggak ada sumbangsihnya disitu, songong banget saya ngebanggain yang bukan buatan saya. Saya bangga akan siapa kita sebagai manusia Indonesia.

Yang ekstrim radikal begini kan baru ya Bu. Ikut-ikutan agenda global ceritanya. Sebelumnya bukankah kita hidup dengan tenang? Saya selalu menjelaskan kepada orang sini bahwa Indonesia sudah terlatih dengan perbedaan. Coba ingat ada berapa suku di Indonesia dengan budaya dan bahasa yang berbeda. Di era dimana batas-batas dunia semakin memudar dan akan menghilang seluruhnya, Indonesia sudah belajar terlebih dahulu untuk hidup dengan perbedaan. Kita sudah mencuri start.

Iya Bu, saya mengerti. Yuk sambil diminum tehnya. Saya mengerti bahwa Ibu kesal banyak dari orang Indonesia yang bermental pemalas dan tidak mau konfrontasi. Resiko sih ya, kalau alamnya begitu memaafkan sehingga mental pun ala kerupuk. Seumur hidup bergantung pada rizki alam dan penguasa feudal sehingga tidak terlatih untuk berpikir sendiri. Padahal kalau kita mau berpikir ya Bu, kalau saja.

Sekian dekade yang lalu ada anak-anak muda yang memaksakan dirinya untuk berpikir. Bukan hanya mereka berhasil menyatukan Indonesia, namun juga berhasil membuat Indonesia sebagai negara merdeka. Mereka membentuk negara lho Bu. Pasti Ibu bangga sekali saat itu. Anak-anak muda ini bisa saja menutup mata terhadap penderitaan bangsanya dan hidup nyaman sebagai priyayi, tapi nggak lho Bu, mereka angkat senjata dan angkat suara. Hebat banget deh. Nah kan, Ibu tersenyum.

Dan sekarang saatnya kita angkat senjata lagi, tapi kali ini bukan dengan bambu runcing dan laras panjang. Kali ini kita angkat bicara di media sosial, senjata kita adalah pendidikan. Pendidikan bahwa kita semua setara dan seimbang, bahwa kita punya harapan dan kita punya hak, bahwa kita lebih dari sekedar sapi perah dan keset para penguasa. Pendidikan bahwa hidup itu nggak selalu harus susah, bahwa birokrasi nggak harus selalu mahal, bahwa penguasa nggak selalu harus korup.

Saya tahu Ibu tahu risikonya masih sama bagi para pejuang ini: yang satu kaki di liang kubur dan satu kaki di dalam penjara. Ibu nggak suka melihat mereka harus mengorbankan dirinya, nggak tega melihat nasib mereka kedepannya, tapi Ibu nggak punya pilihan. Maaf ya Ibu harus berada di posisi ini, maaf ya Ibu harus melihat anak-anak Ibu terkorbankan seperti ini. Walau Ibu tahu mereka rela, tapi di hati Ibu, Ibu pasti tetap nggak rela.

Sama seperti di jaman sebelum kemerdekaan dulu, Ibu kirimkan anak-anak bangsa terbaik ke luar negeri agar mereka bisa belajar akan standar kelayakan hidup yang lebih baik. Berharap mereka akan pulang dengan pemikiran yang luas dan matang, mampu melihat lebih gambling dan bisa menolong saudara-saudara mereka yang tertindas. Sekian puluh tahun yang lalu anak-anak bangsa belajar bahwa perlakuan penjajah terhadap rakyat negerinya tidak bisa dibiarkan, bahwa setiap manusia memiliki hak asasi yang sama, terlepas dari siapa mereka. 71 tahun yang lalu akhirnya kita merdeka.

Sayangnya kali ini sedikit berbeda, Bu. Anak-anak bangsa yang mengenyam pendidikan di luar negeri, yang memiliki akses internet dan kemampuan mengakses informasi, banyak diantaranya yang menjadi tawanan. Sebagian dari mereka tawanan keadaan: tidak bisa pulang karena hanya di luar negeri mereka dapat berkarya maksimal demi Indonesia, atau sudah pulang namun terbelenggu kondisi di Indonesia. Sebagian lagi tawanan kenyamanan: memilih tidak pulang dan tidak peduli karena sudah patah arang dan terlalu nyaman di negara orang, atau hidup berkecukupan di Indonesia sehingga tidak lagi melihat kesetaraan hak warga negara Indonesia sebagai sebuah hal yang mendesak. Jadilah saat ini akhirnya kita sibuk bertengkar sendiri, pertengkaran yang pastinya membuat Ibu frustasi. 

Sandang Pangan Papan yang cukup bagi semua rakyat Indonesia, itu saja yang Ibu butuhkan. Namun ketersediaan sandang pangan papan yang cukup membutuhkan infrastruktur yang memadai, daya beli yang kuat, kepastian hukum yang mengikat. Dan semua ini membutuhkan persatuan Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, semua harus melihat sesama rakyat Indonesia sebagai saudara. Tanpa adanya pengertian akan persamaan hak dan bila masih ada pengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan SARA, minoritas mayoritas, status sosial dan hal lainnya, tidak akan ada kepastian hukum. Tanpa adanya kepastian hukum, ekonomi tidak terkontrol dan daya beli tidak terjamin. Tanpa adanya kepastian sistem ekonomi, termasuk didalamnya pemasukan pajak, infrastruktur tidak terjamin. Ini lho Bu yang harus kita perjuangkan. Kok banyak yang lupa ya, Bu?

Gimana Bu? Ibu masih percaya sama anak-anak bangsa ini? Saya juga sih. Api pengetahuan itu nyalanya sulit, tapi bila sudah menyala seperti api sekam, sulit dipadamkan. Bagi yang tahu hak dan kewajibannya, bagi yang mampu menghargai hak dan kewajiban orang lain, bakalan sulit untuk begitu saja merampas atau melihat hak orang lain terampas. Rasa kenyamanan dan keamanan, rasa dihargai dan memiliki hak itu bagaikan madu termanis, yang sekali saja menyentuh bibir kita tak akan terlupa selamanya.

Saya ingin Indonesia bisa seperti di Amerika sini Ibu. Saya rasa inilah kenapa Ibu mengirimkan saya sendiri. Saya ingin Indonesia bisa menghargai wanitanya. Saya ingin Indonesia yang bebas dari birokrasi korup. Saya ingin Indonesia yang warga negaranya bisa memperoleh air bersih dan listrik dengan mudah, yang bisa mendapatkan kepastian hidup bernegara, yang surat-surat kependudukan seperti KTP atau sertifikat tanah/rumah mudah didapatkan. Saya ingin Indonesia yang tidak menganggap sebagian warganya sebagai warga kelas dua hanya karena apa yang mereka percayai, apa garis keturunan mereka, atau dimana (pulau/daerah) mereka tinggal. Pasti bisa kan Bu? Ibu percaya itu kan?

Perjuangan jaman dahulu pun butuh waktu yang lama untuk mulai bergerak. Belum saatnya saya dan Ibu berputus asa. Mungkin orang-orang yang aksi damai demi Ahok di pelosok kedepannya akan melakukan aksi yang sama saat pejabat pemerintahan di daerah mereka bertingkah dan menindas rakyat di daerah mereka. Jadi nggak cuma sekedar ikut-ikutan. Atau ibu-ibu arisan yang heboh rumpi ria mengirimkan karangan bunga akan sama hebohnya saat mendengar berita pembuatan KTP di daerah mereka dipersulit, dan bukannya bayar calo mereka malah bersatu-padu berdemo di depan kantor kelurahan. Kenapa nggak, ya Bu?

Dunia sudah di titik nadir, Ibu. Begitu banyak kebingungan dan kebencian, ketakutan dan kesengsaraan. Kita sibuk mengangkat senjata melawan musuh ini dan itu, padahal yang harus kita lawan adalah kegelapan. Kegelapan dalam hati kita, kegelapan dalam pikiran kita. Kita meneriakkan maklumat perang terhadap lawan-lawan kita, padahal yang harus kita perangi adalah keserakahan dalam diri kita yang bukan hanya memangsa kita sendiri, namun juga orang lain. Tidakkah Ibu bisa mencium bau anyir darah yang semakin kuat, dan panasnya tubuh-tubuh yang membusuk?

Minum lagi tehnya Ibu, mumpung masih agak panas. Wangi melati yang lembut dan manis gula batu, cukupkan untuk menghangatkan hati Ibu saat ini? Wangi harapan, Ibu Pertiwi, harapan Ibu dan saya. Harapan bahwa anak-anak bangsa akan mengerti akan nilai sesamanya, akan mengerti akan pentingnya persatuan, akan mengerti akan pentingnya masa depan untuk semua. Harapan bahwa saat pengertian itu terjadi, belum terlambat bagi kita semua. Dulu kita bisa merdeka, sekarang kita bisa merdeka lagi, kan? Semoga ya Ibu Pertiwi tersayang. Semoga.

Monday, May 1, 2017

Little People

When the chair feels a little too big
And you think you don't fit in
Desperately moving to fill up the space
Worrying every moment you look like a fool

When the shoes feel a little too big
And you think you can't keep them on
Trying hard to shuffle and not stumble and fall
Fearing the moment your face hit the ground

When the mantle feels a little too big
And you think you are drowned inside it
Fighting with all you have to carry it with dignity
When inside you know you can't go much more

We're the little people, you and I
Sitting in the throne that is too big for us
Walking in the shoes that are too big for us
Carrying the mantle that is too big for us

And the world is maddeningly huge
The tasks are viciously heavy
The doubts are crushing us without mercy
And us, the little people, are only little

We want it to stop
We want it to end
We want to scream "That's enough!"
But still we prevail

And slowly but sure the little people won't be so little anymore
We'll sit a bit straighter in the chair
We'll walk more confidently in those shoes
We'll carry the mantle with air of grace

We grew into them through perseverance
Through trials and tribulations
Through countless of "Damn it all!"
Through many whispers of "I can do this"

The tasks didn't get smaller
The little people got bigger
Changes that's too little to perceived
Till one day it all simply fit in

Then we'll wake up and found ourselves in a bigger chair
In a pair of bigger shoes
Carrying a bigger mantle
And we'll say to ourselves: "Dafuq?"

We'll be little people once more
Over and over and over again
But we'll also grow into the tasks
Over and over and over again

Chin up little people,
Shine that bright happy smile
You won't be little forever
We'll just have to trudge through

Head high, little people
Have faith in you, no matter what
Even if you found yourself little again
You made it then, you'll make it again

Be humble, big people
For you can be little any time
Stay true, stay faithful
Big or small, you'll always be you

Love ya', little people
Proud of ya', big people
Things may come and things will go
But you, you will always have you

Search This Blog