AdSense Page Ads

Wednesday, May 10, 2017

Ibu Pertiwi, Nge-Teh Yuk

Ibu Pertiwi apa kabar? Duduk Bu, bareng saya. Kita nge-teh sambil ngobrol dan ngemil gorengan. Di Los Angeles sini yang paling dekat dengan ngemil gorengan itu adalah ngemil tempe mendoan di Wong Java, yang royal banget ngasi cabe rawitnya. Hashtag #bahagia.

Sini Bu, bersandar di pundak saya. Yuk saya peluk agar Ibu tidak merasa sendirian. Biar saya membantu memanggul beban Ibu walau hanya secuil saja. Bukan hanya saya saja lho Bu, begitu banyak yang ingin memeluk Ibu dan meringankan beban Ibu. Angkat dagu Ibu tinggi, jangan malu Ibuku sayang. 

Saya cuma bisa membayangkan frustasinya Ibu. Sekian dekade berjuang membebaskan diri dan rakyat Ibu dari penjajahan, 72 tahun kemudian kita masih dijajah. Rakyat kecil masih ditindas dan haknya dirampas. Masih jauh, jauh sekali kita dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjadi dasar negara kita. 

Banyak yang mendadak malu menjadi orang Indonesia. Banyak yang memaki dan putus harapan pada Indonesia. Saya tahu, itu juga beban pikiran Ibu. Ibarat pendukung Trump vs anti Trump: yang anti Trump menuduh pendukung Trump orang kampung yang tidak bisa berpikir panjang, yang pendukung Trump menuduh yang anti Trump itu antek asing yang akan menghancurkan nilai-nilai agama dan budaya luhung Amerika. Persis banget kan seperti berantem saat ini di Indonesia? Dan Ibu yang rasanya jadi ingin menenggak P***dol sekotak karena pusing melihat pertengkaran anak-anak Ibu.

Tapi saya nggak malu kok Bu jadi orang Indonesia, bahkan saat ini semua terjadi. Saya tinggal di Amerika sini bangga sekali dengan ke-Indonesia-an saya. Saya nggak bangga karena budaya kita unik atau karena alam kita indah. Kan saya nggak ada sumbangsihnya disitu, songong banget saya ngebanggain yang bukan buatan saya. Saya bangga akan siapa kita sebagai manusia Indonesia.

Yang ekstrim radikal begini kan baru ya Bu. Ikut-ikutan agenda global ceritanya. Sebelumnya bukankah kita hidup dengan tenang? Saya selalu menjelaskan kepada orang sini bahwa Indonesia sudah terlatih dengan perbedaan. Coba ingat ada berapa suku di Indonesia dengan budaya dan bahasa yang berbeda. Di era dimana batas-batas dunia semakin memudar dan akan menghilang seluruhnya, Indonesia sudah belajar terlebih dahulu untuk hidup dengan perbedaan. Kita sudah mencuri start.

Iya Bu, saya mengerti. Yuk sambil diminum tehnya. Saya mengerti bahwa Ibu kesal banyak dari orang Indonesia yang bermental pemalas dan tidak mau konfrontasi. Resiko sih ya, kalau alamnya begitu memaafkan sehingga mental pun ala kerupuk. Seumur hidup bergantung pada rizki alam dan penguasa feudal sehingga tidak terlatih untuk berpikir sendiri. Padahal kalau kita mau berpikir ya Bu, kalau saja.

Sekian dekade yang lalu ada anak-anak muda yang memaksakan dirinya untuk berpikir. Bukan hanya mereka berhasil menyatukan Indonesia, namun juga berhasil membuat Indonesia sebagai negara merdeka. Mereka membentuk negara lho Bu. Pasti Ibu bangga sekali saat itu. Anak-anak muda ini bisa saja menutup mata terhadap penderitaan bangsanya dan hidup nyaman sebagai priyayi, tapi nggak lho Bu, mereka angkat senjata dan angkat suara. Hebat banget deh. Nah kan, Ibu tersenyum.

Dan sekarang saatnya kita angkat senjata lagi, tapi kali ini bukan dengan bambu runcing dan laras panjang. Kali ini kita angkat bicara di media sosial, senjata kita adalah pendidikan. Pendidikan bahwa kita semua setara dan seimbang, bahwa kita punya harapan dan kita punya hak, bahwa kita lebih dari sekedar sapi perah dan keset para penguasa. Pendidikan bahwa hidup itu nggak selalu harus susah, bahwa birokrasi nggak harus selalu mahal, bahwa penguasa nggak selalu harus korup.

Saya tahu Ibu tahu risikonya masih sama bagi para pejuang ini: yang satu kaki di liang kubur dan satu kaki di dalam penjara. Ibu nggak suka melihat mereka harus mengorbankan dirinya, nggak tega melihat nasib mereka kedepannya, tapi Ibu nggak punya pilihan. Maaf ya Ibu harus berada di posisi ini, maaf ya Ibu harus melihat anak-anak Ibu terkorbankan seperti ini. Walau Ibu tahu mereka rela, tapi di hati Ibu, Ibu pasti tetap nggak rela.

Sama seperti di jaman sebelum kemerdekaan dulu, Ibu kirimkan anak-anak bangsa terbaik ke luar negeri agar mereka bisa belajar akan standar kelayakan hidup yang lebih baik. Berharap mereka akan pulang dengan pemikiran yang luas dan matang, mampu melihat lebih gambling dan bisa menolong saudara-saudara mereka yang tertindas. Sekian puluh tahun yang lalu anak-anak bangsa belajar bahwa perlakuan penjajah terhadap rakyat negerinya tidak bisa dibiarkan, bahwa setiap manusia memiliki hak asasi yang sama, terlepas dari siapa mereka. 71 tahun yang lalu akhirnya kita merdeka.

Sayangnya kali ini sedikit berbeda, Bu. Anak-anak bangsa yang mengenyam pendidikan di luar negeri, yang memiliki akses internet dan kemampuan mengakses informasi, banyak diantaranya yang menjadi tawanan. Sebagian dari mereka tawanan keadaan: tidak bisa pulang karena hanya di luar negeri mereka dapat berkarya maksimal demi Indonesia, atau sudah pulang namun terbelenggu kondisi di Indonesia. Sebagian lagi tawanan kenyamanan: memilih tidak pulang dan tidak peduli karena sudah patah arang dan terlalu nyaman di negara orang, atau hidup berkecukupan di Indonesia sehingga tidak lagi melihat kesetaraan hak warga negara Indonesia sebagai sebuah hal yang mendesak. Jadilah saat ini akhirnya kita sibuk bertengkar sendiri, pertengkaran yang pastinya membuat Ibu frustasi. 

Sandang Pangan Papan yang cukup bagi semua rakyat Indonesia, itu saja yang Ibu butuhkan. Namun ketersediaan sandang pangan papan yang cukup membutuhkan infrastruktur yang memadai, daya beli yang kuat, kepastian hukum yang mengikat. Dan semua ini membutuhkan persatuan Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, semua harus melihat sesama rakyat Indonesia sebagai saudara. Tanpa adanya pengertian akan persamaan hak dan bila masih ada pengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan SARA, minoritas mayoritas, status sosial dan hal lainnya, tidak akan ada kepastian hukum. Tanpa adanya kepastian hukum, ekonomi tidak terkontrol dan daya beli tidak terjamin. Tanpa adanya kepastian sistem ekonomi, termasuk didalamnya pemasukan pajak, infrastruktur tidak terjamin. Ini lho Bu yang harus kita perjuangkan. Kok banyak yang lupa ya, Bu?

Gimana Bu? Ibu masih percaya sama anak-anak bangsa ini? Saya juga sih. Api pengetahuan itu nyalanya sulit, tapi bila sudah menyala seperti api sekam, sulit dipadamkan. Bagi yang tahu hak dan kewajibannya, bagi yang mampu menghargai hak dan kewajiban orang lain, bakalan sulit untuk begitu saja merampas atau melihat hak orang lain terampas. Rasa kenyamanan dan keamanan, rasa dihargai dan memiliki hak itu bagaikan madu termanis, yang sekali saja menyentuh bibir kita tak akan terlupa selamanya.

Saya ingin Indonesia bisa seperti di Amerika sini Ibu. Saya rasa inilah kenapa Ibu mengirimkan saya sendiri. Saya ingin Indonesia bisa menghargai wanitanya. Saya ingin Indonesia yang bebas dari birokrasi korup. Saya ingin Indonesia yang warga negaranya bisa memperoleh air bersih dan listrik dengan mudah, yang bisa mendapatkan kepastian hidup bernegara, yang surat-surat kependudukan seperti KTP atau sertifikat tanah/rumah mudah didapatkan. Saya ingin Indonesia yang tidak menganggap sebagian warganya sebagai warga kelas dua hanya karena apa yang mereka percayai, apa garis keturunan mereka, atau dimana (pulau/daerah) mereka tinggal. Pasti bisa kan Bu? Ibu percaya itu kan?

Perjuangan jaman dahulu pun butuh waktu yang lama untuk mulai bergerak. Belum saatnya saya dan Ibu berputus asa. Mungkin orang-orang yang aksi damai demi Ahok di pelosok kedepannya akan melakukan aksi yang sama saat pejabat pemerintahan di daerah mereka bertingkah dan menindas rakyat di daerah mereka. Jadi nggak cuma sekedar ikut-ikutan. Atau ibu-ibu arisan yang heboh rumpi ria mengirimkan karangan bunga akan sama hebohnya saat mendengar berita pembuatan KTP di daerah mereka dipersulit, dan bukannya bayar calo mereka malah bersatu-padu berdemo di depan kantor kelurahan. Kenapa nggak, ya Bu?

Dunia sudah di titik nadir, Ibu. Begitu banyak kebingungan dan kebencian, ketakutan dan kesengsaraan. Kita sibuk mengangkat senjata melawan musuh ini dan itu, padahal yang harus kita lawan adalah kegelapan. Kegelapan dalam hati kita, kegelapan dalam pikiran kita. Kita meneriakkan maklumat perang terhadap lawan-lawan kita, padahal yang harus kita perangi adalah keserakahan dalam diri kita yang bukan hanya memangsa kita sendiri, namun juga orang lain. Tidakkah Ibu bisa mencium bau anyir darah yang semakin kuat, dan panasnya tubuh-tubuh yang membusuk?

Minum lagi tehnya Ibu, mumpung masih agak panas. Wangi melati yang lembut dan manis gula batu, cukupkan untuk menghangatkan hati Ibu saat ini? Wangi harapan, Ibu Pertiwi, harapan Ibu dan saya. Harapan bahwa anak-anak bangsa akan mengerti akan nilai sesamanya, akan mengerti akan pentingnya persatuan, akan mengerti akan pentingnya masa depan untuk semua. Harapan bahwa saat pengertian itu terjadi, belum terlambat bagi kita semua. Dulu kita bisa merdeka, sekarang kita bisa merdeka lagi, kan? Semoga ya Ibu Pertiwi tersayang. Semoga.

1 comment:

Search This Blog